Sabtu, 12 Maret 2016

TOLERANSI BOLOS BERUJUNG TRAGEDI



Hari gini guru membolos? Apa kata dunia?    Gaji rutin diterima setiap bulan, TPP antri masuk rekening, apa lagi yang diinginkan guru? Kalau bicara hak, sederet tuntutan permintaan tercatat panjang. Bak daftar belanja dapur. Tetapi begitu menyangkut kewajiban, eh...nanti dulu. Ada saja alasannya. Beri dulu hak baru kewajiban. Kalimat yang sering terlontar dari guru-guru malas. Keadaan ini jamak ditemui. Akhirnya terjadilah perselingkuhan moral guru. Guru-guru mulai tidak melaksanakan tugas sesuai janji yang diucapkan tatkala disumpah. Mangkir kerja, bahkan bolos.
Dan ini bentuk indisipliner yang paling banyak ditemui. Tidak disiplin masuk kelas, tidak melengkapi perangkat pembelajaran, dan yang paling parah bolos kerja. Ada banyak sebab, mengapa fenomena guru bolos begitu banyak terjadi. Bagi guru tidak tetap, hal yang paling sering menjadi alasan adalah mencari tambahan penghasilan. Baik itu mengajar rangkap di sekolah lain, atau  nyambi bisnis. Yang PNS juga ada yang mengikuti jejak sama.
Budaya buruk ini begitu mudahnya ditemui. Coba saja pembaca melihat di lingkungan kerja saudara. Hampir selalu ada guru model begini. Mengapa hal ini terus terjadi. Tidak adakah tindakan untuk mengingatkan, menegus atau bahkan memberi sanksi? Lantas siapa yang berhak melakukan demikian. Dasar hukum apa untuk menjerat guru-guru pembolos ini?
Penulis yakin, di sekolah pembaca ada saja orang yang merasa kebal hukum, sok jago dan merasa tidak ada yang berani melawan.  Bahkan disinyalir ada semacam mafia guru bolos. Merekrut guru teman dekat sealiran bolos, dan saling melindungi.  Sehingga tatkala ada sidak kehadiran, data adminstrasi kehadiran selalu lengkap dan selalu ada alasan/alibi ketika tidak ada di tempat kerja Malahan beredar  kabar burung, ada oknum guru yang juga merangkap jadi anggota LSM. Berlindung dibalik LSM-nya bertindak seenaknya sendiri.  Kepala sekolahpun dibuat kerepotan mengurusnya. Dampaknya, menjatuhkan sanksi beratnya laksana membawa palu godam, beraaaat sekali.
Akibatnya sudah jelas. Sekolah terganggu. Anak-anak, orang tua dan negara dirugikan. Anak tidak memperoleh ilmu. Apalagi jika guru bolos ini mengajar siswa kelas akhir. Bisa-bisa banyak anak tidak lulus. Tentunya orang tua juga dirugikan. Angan-angan menyekolahkan untuk menjadikan putra-putrinya mega bintang bisa pupus. Rekan guru juga terganggu. Jika ada kelas kosong,  tetangga kelas terganggu. Tentu saja tugas tambahan guru pembolos ini tidak dapat terlaksana. Guru lain terpaksa menanggung tambahan beban kerja. Tetapi ketika ada tanda tangan SPJ, tak mau ketinggalan. Jelas-jelas merugikan teman kerja dan negara.
Perlu penangan intensif  terhadap guru pembolos ini. Pihak sekolah, terutama kepala sekolah menjadi ujung tombak. Keberanian, kebijkan dan keadilan kepala sekolah menjadi langkah awal penegakan disiplin, tanpa pilih kasih. Pendekatan persuasif, pembinaan, peringatan dan  tindakan nyata merupakan langkah-langkah untuk membentuk kesadaran guru pembolos agar tidak melakukan tindakan indisipliner. Kepala seolah tidak perlu takut. Ada payung hukumnya, PP  RI No 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Kalau tetap membandel, pasal-pasal yang ada pada PP tersebut bisa diterapkan.. Berarti guru pembolos memang tidak layak jadi guru. Dikembalikan ke masyarakat saja.
Apalagi dengan akan diberlakukannya Permenegpan dan RB nomor 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya per 1 Januari 2013, dimana penilaian kinerja guru sangat berpengaruh terhadap nasib guru PNS. Permen itu merupakan senjata ampuh untuk menyadarkan guru-guru nakal. Namun sayang, kadang rasa kemanusiaan lebih berpihak dari pada niatan merubah karakter buruk guru bolos. Tidak tega! Ibarat pepatah, tega sakitnya tetapi tidak tega matinya. Toleransi yang diberikan seorang kepala sekolah sering dimaknai keliru dan disalah gunakan. Diberi hati minta  jantung. Awal tragedi bagi anak negeri. Jika nalar kalah dengan hati, akan hancur negeri ini.
Untuk mengetahui fenomena guru bolos perlu diteliti. Tidak hanya untuk mengetahui prosentasenya, yang lebih penting mencari penyebab dan solusi tepat. Selanjutnya hasil ini dievaluasi dan dipaparkan di lingkungan pendidikan terbatas. Tujuannya agar institusi dan personal guru bolos tersebut mempunyai rasa malu. Sehingga yang bersangkutan segera berbenah.  Langkah selanjutnya, bagi guru bolos dilakukan pembinaan. Jika dalam jangka waktu tertentu tidak ada perbaikan, sanksi sesuai hukum yang berlaku diterapkan.
Yang juga harus diperhatikan adalah nasib anak-anak yang yang ditinggalkan. Bagaimanapun mereka tetap harus menerima pelajaran. Sekolah dapat memberdayakan guru piket untuk mengampunya. Dicarikan guru piket yang sejenis. Sehingga guru piket menggantikan peran guru pembolos untuk melanjutkan materi. Tidak hanya memberikan tugas mengerjakan LKS atau belajar sendiri. Jangan sampai terjadi seperti yang pernah diberitakan di media, para orang tua berdemonstrasi memprotes sekolah utamanya guru bolos agar dipindah/diberi sanksi. Masyarakat sekarang lebih kritis. Melalui putra-putrinya mengorek kehadiran bapak/ibu guru. Jika tidak diantisipasi lebih dini, nasib anak bangsa dipertaruhkan. Saatnya guru introspeksi diri. Sudah disiplinkah bapak/ibu mengajar di kelas? Satnya Kerja, Kerja dan Kerja!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar