Sabtu, 20 Agustus 2016

Menguji konsistensi dan keefektifan penilaian k13 edisi revisi



Kurikulum bukan kitab suci. Kurikulum merupakan dokumen hidup yang setiap waktu bisa saja berubah. Setidaknya hal itu bisa dirasakan pada pemberlakuan kurikulum 2013. Maka bukan hal mengejutkan kalau sejak 3 tahun lalu dilaunching, beberapa kali direvisi. Respon guru yang sering terdengar : yang lama belum lancar, disuruh mempelajari, memahami dan menerapkan versi baru.

            Yang terakhir tentu para guru mengira, terbitnya Permendikbud 53 tahun 2015 merupakan revisi final kurikulum 2013. Penilaian yang sebelumnya menjadi biang kerok tersendatnya implementasi kurikulum 2013 telah banyak pemangkasan. Dibuat mendekati harapan guru. Hal itu selintas dapat dilihat pada Pedoman Penilaian yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.

            Nah, yang jadi pertanyaan, sudahkah pedoman itu mengatur dengan jelas dan tegas agar tidak menimbulkan bias pemahaman. Mengapa? Ya, karena kalau dipelajari dengan seksama, pedoman penilaian itu masih banyak celah dan multi tafsir. Sehingga Pak Tirto Adi pun angkat bicara, tentang bagaimana penilain K13 masih menimbulkan hiruk pikuk di lapangan (Jawa Pos 2 Juni 2016). Seperti diungkap pak Tirto, Permendikbud no 53 beserta pedoman penilaiannya belum bersinergi dengan baik. Rilisnya saja menimbulkan keanehan, ditengarai pedoman penilain terbit lebih dulu. Karena tertanggal 14 Desember 2015, sementara Permendikbud baru diundangkan tanggal 15 Desember 2015, meski sudah ditetapkam tanggal 11 Desember 2015.

            Penulis sepakat dan menambahkan beberapa hal janggal serta perlu adanya perbaikan setidaknya penjelasan serta penegasan dalam penilaian. Karena aneh, sebuah pedoman diberlakukan nasional tanpa dasar hukum jelas. Di dalam pedoman penilaian untuk SMP  dari direktorat (hal 3) tidak tercantum landasan hukum Permendikbud nomor 53 tahun 2015 sebagai pijakannya. Pada lampiran hasil belajar, untuk rapor siswa dicantumkan KKM tunggal di bagian atas (lihat bagian yang dilingkari pada pedoman penilaian SMP hal 61 di bawah ini) .

Bagaimana mungkin KKM pengetahuan dan ketrampilan untuk semua mata pelajaran sama. Bukankah daya dukung dan kompleksitas antar mata pelajaran berbeda?

Apalagi Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah pada panduan penilain  untuk SMA (hal 61) juga mencontohkan bahwa sebuah satuan pendidikan bisa membuat KKM dan interval predikat berbeda  untuk mata pelajaran yang ditetapkan satuan pendidikan.  Dan ada  keterangan bahwa nilai KKM merupakan nilai minimal untuk predikat Cukup. Sayang  dibagian akhir ada kalimat kontradiksi : “Berkaitan hal tersebut diharapkan satuan pendidikan dapat menentukan KKM yang sama untuk semua mata pelajaran.” Aneh!

            Ketika penulis mengikuti TOT instruktur Kurikulum 2013 akhir Mei 2016 di LPMP Surabaya, hal ini menjadi bahan diskusi hangat. Beberapa sekolah menyikapinya dengan pemahaman dan solusi beragam. Ada sekolah yang membuat rata-rata KKM dari seluruh mata pelajaran, ada juga yang mengambil KKM terendah sebagai KKM tingkat satuan pendidikan. Menurut hemat penulis, pencantuman KKM dalam rapor sebagai penerjemahan pasal 9 bagian b Permendikbud no 53 tahun 2015 yang menyatakan : “KKM yang harus dicapai oleh peserta didik ditetapkan oleh Satuan Pendidikan” sebaiknya tetap per mata pelajaran dengan membuat satu kolom tambahan. Bisa jadi untuk satu mata pelajaran, KKM pengetahuan dan ketrampilan berbeda. Penulisan bagian diskripsi juga dibuat lebih lebar agar tulisan lebih jelas. Bentuk tabelnya bisa dibuat berbentuk seperti berikut :

NO

MATA PELAJARAN

ASPEK

CAPAIAN

DESKRIPSI

KELOMPOK A

 

KKM

Angka

Predikat

 

1

Pendidikan Agama dan Budi Pekerti

(nama guru)

 

Pengetahuan

 

 

 

 

 

Ketrampilan

 

 

 

 

2

Pendidikan  Pancasila dan Kewarganegaraan

(nama guru)

Pengetahuan

 

 

 

 

 

Ketrampilan

 

 

 

 

 

Nama guru pada rapor yang dulu ada kemudian dihilangkan, juga perlu dicantumkan kembali sebagai wujud tanggung jawab guru dan pendidikan budi pekerti. Agar siswa sekarang atau nanti tetap mengenang dan menghormati guru. Hal ini juga cocok dengan pengalaman Bu Yuni saat studi banding ke Tiongkok beberapa waktu lalu yang dimuat di Media edisi Pebruari 2016.

            Hal lain yang bisa membuat kebingungan adalah perbedaan rentang untuk predikat antara yang diterbitkan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Pusat Penilaian, seperti pada tabel di bawah ini.

 

Dirjendasmen

Pusat Penilaian Pendidikan

Predikat dan Rentang

Sangat Baik (A)  :  86-100

Baik (B)             :  71 – 85

Cukup (C)         : 56 – 70

Kurang (D)          ≤ 55

Sangat Baik (A) : 86-100

Baik (B)            : 70 – 85

Cukup (C)        : 56 – 69

Kurang (D)        : ≤ 55

Pengesahan

14 Desember 2015

   Januari 2016

Perbedaan satu angka untuk predikat B dan C dari dua lembaga dalam satu kementerian bisa berdampak besar terhadap nasib anak bangsa.  Miskoordinasi ini jelas tidak sesuai dengan amanat pasal 11 permendikbud no 53 tahun 2015.

Dengan membandingkan pemberian rentang nilai, predikat dan KKM antara panduan SMP dan SMA, hal ini justru kelak bisa menimbulkan kegaduhan nasional. Nilai sama tetapi predikat berbeda antara sekolah satu dengan yang lain. Jika KKM sekolah boleh ditentukan sendiri, bolehkah rentang predikat juga dibuat sendiri sesuai KTSP-nya? Bisa jadi anak lulusan sekolah yang masih menjunjung tinggi idealisme, kalah bersaing dari sekolah yang suka obral nilai, gara-gara angka. Masyarakat umum tidak mau tahu, apa dan bagaimana aturan itu diperoleh. Anak yang memperoleh angka tinggi pasti dianggap mempunyai kemampuan lebih. Dan tentu saja, nilai terakhir di ijazah-lah yang dianggap paling sahih. Bukankah di halaman belakang ijazah tidak ada predikat atau KKM per mapel suatu sekolah? Hanya angka. Predikat seyogyanya diberikan berdasar rata-rata capaian pengetahuan dan ketrampilan diletakkan di bagian bawah rapor atau ijazah seperti pada transpkrip nilai usai lulus kuliah. Ketika hal ini ditanyakan kepada nara sumber, jawabannyapun belum tegas, normative sekali : semua kembali kepada permen dan dokumen sekolah masing-masing atau menunggu perkembangan. Sampai kapan?

            Belum kering keringat sepulang TOT, sudah ada kabar baru terkait penilaian. Ada kabar dari guru yang mengikuti diklat instruktur nasional K13 pada pertengahan Juni  bahwa Ulangan Tengah Semester (UTS) sudah tidak perlu lagi, langsung penilan akhir semester. Hal ini juga ada diberbagai blog atau diskusi di grup WA. Tentu saja ini berbeda saat penulis mengikuti TOT, yang konon instruktur nasionalnya dikawal langsung kemendikbud agar tidak ada lagi perbedaan tafsir saat pengimbasan.. Dalam buku materi, power point, pelatihan membuat laporan hasil belajar dalam lembar kerja,  UTS masih ada dan diolah sebagai bagian penentuan nilai rapor, khususnya untuk aspek pengetahuan. Jadi mana yang benar?

            Ya, jadwal telah tersusun. Implementasi kurikulum 2013 edisi revisi bergulir mulai tahun ajaran baru 2016/2017. Guru dan siswa sudah harus siap menjalankannya. Guru hanyalah pelaksana. Bekal pengetahuan sudah diperoleh, perangkat sudah disusun, dan siap menjalannya. Hanya saja, aturan kurikulum perlu tegas dan konsisten agar implementasinya efektif. Baik dari sisi persiapan, pelaksanaan, dan tentunya tujuan utama menyiapkan generasi emas berkarakter yang paripurna. Guru tidak ingin dianggap sebagai kelinci percobaan untuk uji petik lapangan yang suatu ketika di tengah jalan tiba-tiba ada perubahan kurikulum karena ada permendikbud bernomor 53a atau 53b sebagai revisi kurikulum jilid I, II, III,…dst. Ketersedian sumber belajar, konsistensi, ketegasan dam semangat untuk maju akan melahirkan pembelajaran yang efektif demi mewujudkan cita-cita luhur bangsa.

 

Tulisan ini dimuat di Majalah Media Edisi Agustus 2016

3 komentar:

  1. Nggeh sangat sangat perlu dicermati lagi Pak. Masukan Bapak semoga bisa di dengar penyusun kebijakan Kurikulum.

    BalasHapus
  2. ya pak erik. kemarin waktu di LPMP saya sudah berdiskusi dengan pak Anang. Salah satu jawaban pusat, yang ada di panduan direktorat itu contoh, sekolah bisa mengembangkan sendiri sesuai dokumen 1 sekolah. Tetapi kebanyakan sekolah kalao sudah ada panduan, yaa itu yang dipakai. semoga ada keputusan yang tidak membingunkan

    BalasHapus
  3. saya mau tanya pak. bagaimana interval predikat jika KKM = 65, KKM = 70, KKM = 75 ?
    Terima kasih pak.

    BalasHapus