Rabu, 20 Mei 2009

CINTAKU KANDAS TERHEMPAS UNAS

(Baca di harian Radar Madiun, Selasa 12 dan 19 Mei 2009)

“Teet…Teet..Teet…Teet”, bunyi bel listrik paling kutunggu. Bel tanda pulang sekolah. Aku dan Dani langsung ke tempat parkir sepeda motor.

”Gus, apa acaramu malam Minggu,”

“Biasa, apel ke rumah Mila” jawabku ketus

“Masak mau ujian masih apel terus. Apa ortu Mila nggak nglarang? Ntar kalau belajarnya Mila terganggu, kamu bisa digantung sama calon mertuamu.”

.

”Ya nggak lah! Masa calon menantu ganteng begini mau digantung. Siapa tahu kalau aku apel, semangat Mila tambah menyala-nyala. Kalau aku nggak ketemu Mila satu hari saja, rasanya kayak setahun!”

”Agus! Agus! Dasar play boy. Mila dapat kamu itu apa nggak salah. Mila itu tanpa dirimu nggak ada pengaruh, sudah pinter dari sononya. Lha kamu, status IQ-mu saja diragukan Jangan-jangan Mila kamu pelet!”

”Yaa nggak lah yaw. Inilah resiko jadi cowok ganteng. Jadi rebutan cewek-cewek, kayak Ande-Ande Lumut”. Aku pun ngloyor pergi dengan motor.

Waktu ujian nasional masih dua bulan lagi. Hari-hari aku habiskan di sekolah ikut bimbingan intensif. Pulang sekolah mampir warnet. Facebook-an sama sohib-sohib di dunia maya. Tambah kenalan. Lumayan, wajah gantengku melanglang buana. Tambah terkenal. Semakin banyak cewek yang nge-fans padaku. Selingkuh berkadar rendah. Mila kan tidak tahu. Mila tetap pacar dunia riilku.

Di tembok kamarku terpampang foto Mila. Menghadap diriku kalau aku terlentang mau tidur. Mila jadi penyemangatku. Sering aku termangu lama memandang foto Mila. Melamun membayangkan betapa bahagianya mempunyai pacar seperti Mila. Cantik, pintar, rajin dan setia. Kadang aku heran juga. Kok Mila mau pacaran sama aku. Kalau aku ganteng, itu jelas. Tapi aku tak sepintar Mila. Sesekali Mila menasehatiku agar belajar rajin. Ahh... perhatian sekali Mila padaku. Ortuku saja tak seperhatian Mila. Sibuk dengan urusan. Ayahku sibuk dengan bisnis, ibuku jadi wanita karier. Bahkan aku sendiri merasa berdosa, kadang masih tergoda nambah gebetan. Aku kan cowok, wajar punya pacar lebih dari satu. Kanjeng Doso saja istrinya banyak.

Hari-haripun berjalan semakin cepat. Unaspun kurang satu minggu.

”Agus. Gimana? Sudah siap!” Mila menyapaku sambil jalan.

”Untuk dirimu, aku selalu siap,”

”Kamu ini, yang dipikir kok cuma aku. Sesekali mikir dirimu sendiri. Biar nanti lulus. Syukur dapat nilai baik. Kabarnya unas nanti soalnya lebih sukar. Syarat nilai kelulusannya saja tinggi. Kalau nggak siap, nanti nyesal.”

”Mila, kamu kok kaya bu guru saja. Nakut-nakuti. Buktinya tiap tahun syarat kelulusannya naik, yang tidak lulus sedikit. Sekolah kita mesti 100% lulus. Aku sih nggak kuatir. Moga-moga saja kalau unas nanti yang ngawasi tidur. Aku bisa kerjasama dengan temen-temen. Atau kalau mungkin kamu bisa transfer jawaban via SMS. Waktu unas kamu bawa HP kan?”

”Nggak ah! Itu melanggar aturan. Kalau ketahuan kamu bisa kena sanksi. Kalau kita yang masih sekolah saja sudah curang, gimana kalau jadi pejabat?. Apa kata dunia?”

”Iya-ya. Apa pejabat-pejabat yang korupsi itu waktu sekolah dulunya sering curang ya. Dapat nilai baik dengan cara nggak bener. Demi nama baik menghalalkan segala cara. Keenakan curang akhirnya masuk jurang. Eh... kok jadinya nglantur jadi pengamat hukum dan politik.”

”Makanya. Jadi anak itu belajar yang bener. Jangan banyak main HP and internetan.”

”Inggih bu guru,” akupun mengiyakan nasehat Mila. Nasehat seorang kekasih hati. Meski nasehat itu sering hanya sekedar pengingat. Aku masih kalah dengan godaan nafsuku. Main-main, dan malas belajar. Padahal Mila dan teman-temanku sudah puasa HP-an and internetan. Malah Mila sudah katakan HP nya seminggu menjelang unas hingga pelaksanaan unas dimatikan.

Hingga waktu unas pun datang. Alamaaak! Yang dikatakan Mila benar. Soal unas bener-bener membuat kepala jadi panas. Jurus pamungkas jadi andalan, aji pengawuran. Bukan tanpa alasan aku ngawur. Di samping ruangku tidak ada bintang kejora buat konsultasi jawaban, pengawasnya bak pengawal kerajaan Buckhingham Inggris. Tanpa senyum, tanpa ekspresi. Dingin, bak pembunuh berdarah dingin. Diam terpaku duduk di kursi pengawas. Meski tidak hilir mudik, ruangan ujian laksana ruang penyidik. Setelah unas dilanjutkan ujian sekolah dan ujian praktek. Kalau ujian yang begini sih aku tidak kuatir. Semua kulalui dengan lancar.

Setelah itu hari-hari kuisi cari informasi masuk perguruan tinggi. Kesana-kemari mencari peluang yang mungkin dalam jangkauan kemampuan. Bukan masalah biaya, tapi aku sesuaikan kemampuan IQ dan cita-citaku kelak. Sementara Mila sudah melenggang mulus masuk perguruan tinggi lewat jalur PMDK nun jauh di sana, IPB Bogor. Akankah aku dan Mila akan seperti Acha Septiarsa dan Irwansah? Harus berpisah karena kuliah?

Sebulan lebih unas berlalu. Waktu pengumuman kelulusanpun tiba. Kali ini aku tak sesemangat seperti biasanya. Kulihat teman-temanku bersorak kegirangan. Mila hari ini tidak masuk. Dia ke Bogor mencari kos-kosan. Mila sudah pe-de lulus. Sedang aku, tak tahu. Aku masih termangu duduk di selasar kelas. Kulihat satu dua temanku menangis, tidak lulus. Aku memberanikan diri mendekat melihat pengumuman. Kucari nomor ujianku. Kucari dan terus kucari. Tapi nomorku belum ketemu. Aku terus mencari. Dani yang berada di sebelah membantuku.

”Sudah ketemu?”

”Belum,”aku menjawab dengan suara serak. Pencarian terus aku lakukan. Kutelusuri satu persatu nomor-nomor panjang yang terpampang di papan itu beberapa kali. Tapi nomorku tidak kutemukan juga.

”Agus, kelihatannya nomormu tidak ada. Kamu .... kamu... tidak lulus”, Dani yang sedari tadi membantuku mengucapkan kalimat yang paling aku takuti. ”Tidak lulus”.

Tiba-tiba saja dunia jadi gelap. Seketika aku pingsan. Hari itu menjadi hari terburuk sepanjang hidupku. Aku tidak bisa merayakan kelulusan dengan teman-temanku. Aku menjadi pasien dadakan.

Setelah itu aku mengurung diri di kamar meratapi diri. Teman-temanku sibuk daftar SPMB. Aku sendiri masih belum tahu berbuat apa. Ikut ujian kejar paket C atau ikut ujian tahun depan. Sementara Mila sudah siap kuliah di bogor.

Kebekuan pikiranku akhirnya cair. HP ku berdering. Dari Mila.

”Agus, jangan putus asa. Masih ada kesempatan di depan mata. Waktu tidak bisa diputar. Tapi waktu harus dimanfaatkan. Kita memang terpisah jauh. Tapi hati kita masih tetap dekat. Jadilah seorang pria sejati. Jangan jadi cowok yang mungkin kamu banggakan selama ini. Semoga kita selalu menjadi sahabat sejati”

Itulah beberapa kalimat yang jadi penggugah semangatku. Ternyata Mila masih memperhatikanku. Perhatian sebagai sahabat bukan sebagai pacar. Perhatian yang selama ini salah aku tafsirkan. Mila bukan sekedar cewek. Mila seorang perempuan sejati. Anak perempuan yang tidak saja enak untuk berteman. Tetapi seorang yang mampu mandiri, mau menerima kenyataan, mau nasehat-menasehati dan mampu bangkit serta membangkitkan semangat siapapun yang ada disekelilingnya.

Meski aku tidak tahu apa arti cinta sebenarnya, tetapi pelajaran berharga baru aku petik dari Mila dan unas. Cintaku sebagai cowok kepada Mila memang sudah kandas, terhempas unas. Terhempas karena diriku terlena, terbuai keegoan. Aku hanya bisa menasehati dirku sendiri ,”Wowalah Agus.... Agus! Malas belajar bisa berbuah fatal, akibatnya unaspun gagal. Nasib.....nasib. Aku berjanji akan berubah. Aku akan menjadi pria sejati”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar