Sabtu, 30 Mei 2009

BUKU LKS... BISNIS YANG MENJANJIKAN

Belajar tanpa guru mustahil. Belajar tanpa buku, hasilnya bakal nihil. Ini kira-kira petuah yang cocok diberikan kepada siswa. Meski ada satu dua pengecualian. Di jaman yang mulai berbau kapitalis, segala sesuatunya hampir tak lepas dari perhitungan ekonomi. Pekerjaan, pengadan jasa dan barang tak luput dari hitung-hitungan rupiah. Tak hanya pengusaha yang segala gerak-geriknya dihitung bagaikan pulsa berjalan yang setiap detik berharga rupiah. Para pejabat, buruh, dokter, wakil rakyat dan berbagai pelayanan jasa tertular virus materialistis. Bahwa untuk mencapai kesuksesan yang sekarang diraih, dulu diperoleh dari kerja keras, pengorbanan, pengabdian, relawan sebagai tim sukses bahkan harus setor upeti agar lancar bertransaksi dan meraih posisi. Sekarang waktunya balik modal.

Dari berbagai kesempatan penulis mengikuti kegiatan guru tingkat regional maupun nasional, banyak diperoleh informasi berkaitan pengadaan buku dan lks. Pengadaannya kebanyakan ditangani pemerintah daerah, dinas pendidikan, MKKS ataupun panitia lokal sekolah. Masih mending kalau pengadaan lks ditangani pemda dan bersifat gratis. Siswa tinggal menerima LKS yang sudah dialokasikan dalam APBD. Tetapi kalau pengadaannya ditangani dinas pendidikan atau MKKS dan sekolah hanya terima jadi, dikirimi buku dan harus setor pembayaran ke pekabat terkait hal ini akan menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan.

Bagaimanapun juga dalam pembelajarn buku dan LKS masih diperlukan. Guru mempunyai hak prerogratif untuk menentukan bahan ajar yang cocok dan baik bagi siswanya. Untuk itu pengadaannya harus melibatkan guru mata pelajaran. Guru mapel diberi hak untuk memilih buku atau LKS yang sesuai. Mekanisme pengadaan dilakukan melalui koperasi sekolah. Sah-sah saja sekolah membentuk panitia khusus. Karena tanpa panitia jika terjadi suatu kesalahan dapat segera diatasi. Tetapi sebenarnya melalui koperasi siswa hal ini akan lebih baik. Bahwa dalam bertransaksi terjadi tawar-menawar hal itu wajar saja. Koperasi siswa juga perlu profit. Guru pengampu memperoleh fee sah-sah saja. Tetapi jangan lupa. Siswa sebagai pemakai juga berhak menikmati discount.

Melalui kopsis, disamping menunukkan tranparansi dan accountbilitas publik juga akan membelajarkan kepada siswa untuk belajar berwirausaha. Membentuk mental entrepeneur sejak dini. Kekuatiran guru tidak memperoleh bagaian keuntungan adalah hal yang salah. Guru sebagai pembina dapat mengajarkan kepada peserta didiknya bagaimana menghargai setiap unsur dalam trnasaksi perdagangan. Siapapun yang terlibat berhak mendapat volue. Dan tidak lupa, bahwa sebagain keuntungan akan kembali ke siswa dalam bentuk bantuan ataupun kegiatan-kegiatan siswa yang ditetapkan dalam Rapat anggota tahunan kopsis. Pengadaan melalui kopsis juga menunjukkan berlakunya hukum pasar. Ada penawaran dan permintaan. Siapa yang butuh pasti membeli

LKS yang beredar sekarang sebenarnya sudah bukan LKS dalam arti sesungguhnya. Rangkuman materi beserta latihan soal yang dibungkus buku LKS adalah salah satu ide kreatif untuk memasyarakatkan buku dan memudahkan pembelajaran. Jadi siswa tidak wajib memilikinya. Gurulah yang berkewajiban menyusun lembar kerja yang disampaikan dalam tatap muka untuk mencapai ketuntasan kompetensi dasar. LKS disusun untuk menumbuhkan kreatifitas anak dalam menemukan konsep dan membuktikan teorema.

Dengan kehadiran buku LKS memang membantu guru dalam pembelajaran. Apalagi buku LKS berbudget murah meriah. Lebih murah dibanding buku-buku ajar keluaran toko. Termasuk lebih murah bahan ajar BSE yang telah dibukukan. Namun sayangnya keberadaannya sering dimanfaatkan untuk menggantikan fungsi guru di kelas. Siswa tinggal diberi tugas mengerjakan soal-soal dari LKS dan dikumpulkan. Itupun masih banyak yang hanya diberi paraf dan dikembalikan ke siswa tanpa ada pembahasan dan tindak lanjut. Keengganan guru memeriksa LKS bisa disebabkan banyaknya beban mengajar yang terdiri banyak kelas, teknik evaluasi dan pembelajarn yang memanfaatkan LKS kurang pas atau karena LKS yang kurang menunjang ke arah pembelajaran interaktif. Sehingga LKS hanya berupa take-over dari rangkuman materi yang sudah ada di dalamnya, tidak mengarah ke eksplorasi.

Di era sekarang ini di mana BOS buku sudah dapat mulai mencukupi kebutuhan buku ajar, pengadaan LKS dapat di lakukan secara mandiri yang disesuaikan dengan kebutuhan lks per mata pelajaran. Sehingga pengadaannyapun tidak harus membeli lansung dalam satu paket. Bagi guru-guru yang kreatif LKS tidak lagi disajikan dalam bentuk buku tetapi disusun dalam lembar kerja terpisah yang disusun menjadi portofolio siswa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi dan sudah terencana dalam RPP.

Dengan demikian siswa tidak harus membeli. Jikalau LKS itu sudah dibukukan, siswa yang tidak mampu dapat merangkum atau menukil bagian LKS yang menjadi tugas siswa. Guru juga tidak boleh mengintimidasi dan memberlakukan perbedaan dalam penilaian, jika ada siswa tidak membeli LKS.

LKS-LKS yang dipakaipun juga tidak boleh asal comot. Pemberian fee yang lebih seringkali mengabaikan mutu LKS itu sendiri. Guru memakai buku LKS keluaran penerbit yang memberikan fee besar. Akibatnya LKS tidak berdayaguna yang berdampak rendahnya mutu pembelajaran. LKS-LKS kadang disusun tidak sesuai kurikulum yang ada atau hanya berupa tambalan-tambalan materi dari berbagai sumber.

Kurangnya bahan ajar dapat disiasati guru dengan menyusun bahan ajar sendiri. Disamping kebutuhan bahan ajar terpenuhi, hal ini juga mempunai nailai tambah guru untuk portofolio dalam sertifikasi guru dalam jabatan. Dengan demikian pengadaan LKS jangan selalu dikonotasikan dengan fee dan uang. Proses penyusunan, pengadaan dan penggunaan juha harus dilihat dari sisi positifnya. Siswa beruntung dapat memperoleh materi ajar yang murah dan membantu belajarnya. Koperasi siswa/sekolah dapat mengambil profit untuk menunjang kegaiatan sekolah dan guru penyusun LKS dapat mengembangkan kreatifitasnya dalam menyusun bahan ajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar