Selasa, 11 November 2014

Buku K13, Bukan Kitab Suci



            Buku adalah jendela dunia. Tanpa buku, ibarat rumah tanpa jendela. Penghuninya merasa terkungkung. Hal ini seperti gambaran sinetron “ Rumah Tanpa Jendela” yang menceritakan seorang ayah (diperankan Raffi Ahmad) beserta putrinya tinggal di rumah petak tanpa jendela dan berjualan ikan hias untuk membeli jendela, agar putrinya bisa melihat keluar rumah. Dan ketika ada orang menjual jendela bekas, Raffi menukar seluruh uang ditambah barang dagangan beserta keranjang pikulannya dengan  jendela bekas itu. Apa daya, setiba di rumah didapatinya rumahnya terbakar. Saat menolong ibunya, Raffi terjebak dalam kobaran api hingga menewaskannya. Jendela buat anaknyapun tidak bisa terpasang. Pengorbanan yang sia-sia, demi sebuah jendela.
            Akankah buku K13 sebagai salah satu jendela dunia akan bernasib sama? Apalagi Permendikbud  No 58 tahun 2014 sebagai penyempurnaan Permendikbud  No 81A tahun 2013 baru tersosialisasi akhir Agustus 2014 meski tertanggal 2 Juli 2014. Melongok tahapan pengadaan buku dan pemberlakuan  implementasi K13 bagi siswa secara bersamaan (untuk kelas 7 dan 8 SMP misalnya),  jelas menunjukkan kebijakan ini terburu-buru. Ketika ajaran baru 2014/2015 dimulai, pelatihan K13 untuk guru belum tuntas, buku tidak siap. Lha wong sekolah sasaran K13 yang sudah satu tahun saja masih termehek-mehek melaksanakan, bagaimana dengan sekolah lain? Dua tingkat kelas sekalian lagi? Bukankah konon buku siswa K13 Kemendikbud menjadi kitab utama bagi guru dan siswa? Oleh karena itu, keterlambatan buku K13 benar-benar menjadi momok. Jika sebelumnya keterlambatan dimungkinkan karena sekolah belum memesan buku, bisa jadi keterlambatan ini lebih dari sistem pengadaan dan distribusinya. Mungkin kementerian salah perhitungan dalam hal ini. Percetakan tentunya lebih suka mencetak satu persatu judul buku. Sedang distributor inginnya mengantar ke satu daerah/sekolah langsung lengkap semua mata pelajaran. Faktanya, buku-buku yang datang kesekolah tidak bisa langsung lengkap. Sehingga antara percetakaan dan bagian distribusi tidak klop. Jika buku lengkap, cukup satu dua kali antar. Tetapi karena mencetaknya tidak paralel, distribusinya bolak-balik, uang yang dikeluarkan lebih banyak. Agar tidak rugi, menunggu buku lengkap, baru diantar. Masalah sekolah kelimpungan, urusan belakang.
            Apakah buku-buku K13 yang tiba sesuai harapan? 100% memang tidak. Tetapi dibanding dengan awal implementasi terbatas K13, kualitasnya lebih baik. Buku tidak terlalu tebal, tampilan maupun isi lebih menarik. Untuk buku siswa, pendekatan scientifik, bentuk kegiatan maupun projek tersedia. Meski masih banyak salah ketik atau salah eja. Dari sisi kedalaman materi, perlu penyajian permasalahan ataupun contoh kontekstual yang lebih runtut, dan mudah. Sedang buku guru, masih  perlu perbaikan. Tidak sekedar copy paste dari buku siswa yang hanya diberi sedikit penjelasan. Sebagai buku pegangan, dalam buku guru perlu diberi alternatif model pembelajaran yang sesuai. Untuk permasalahan yang tidak lazim dalam pelajaran juga diberi alternatif pemecahannya. Karena dalam K13 yang paling dirasa memberatkan adalah penilaian, dalam buku guru juga perlu ditambahkan bentuk dan rubrik penilaiannya.  
            Mengingat buku siswa begitu urgen dalam implementasi K13, keterlambatannya tentu  mengganggu metode pembelajaran K13 di kelas. Namun demikian, jika guru sudah memahami metode pembelajaran dengan pendekatan scientifik, ketiadaan buku K13 justru bisa memacu guru untuk berkreasi, berimprovisasi, ataupun berinovasi dalam pembelajaran. Guru perlu membuat kiat agar siswa lebih mudah memahami materi dengan metode dan media yang dibuat guru.  Dengan memahami silabus dan karakteristik  materi serta siswanya, keterlambatan buku tidak menjadi permasalahan utama.   Langkah efektif lain adalah mengefektifkan MGMPS serta memanfaatkan buku paket lama,  membuat suplemen materi sesuai K13 bercirikan karakteristik sekolah dan kompetensi peserta didik. Sesama guru mapel patungan menyusun materi pembelajaran, lembar kerja siswa, rubrik beserta penilaiannya. Guru tidak kurang lakon.
             Dengan kecanggihan teknologi, ketiadaan buku K13, baik untuk siswa dan guru dapat juga disiasati dengan memanfaatkan file. Guru atau siswa bisa menggandakan  atau mencetak dengan swadaya. Seperti halnya BSE yang bebas didownload, file buku K13 seyogyanya juga bisa diakses oleh siapapun asal bukan untuk komersial. Toh ada UU hak cipta. Dengan disediaknnya file buku K13, tidak ada alasan bagi sekolah untuk tidak menyelenggarakan K13. Jika K13 sudah menjadi program nasional, kebijakan ini perlu dijalankan dengan penyempurnaan-penyempurnaan. Bukankah pengadaan buku K13 sudah ada bansos buku? Sekolah cukup menyediakan dana pendamping dari BOS. Kalau toh adanya penolakan K13, penulis yakin penolakan itu bukan semata karena belum lengkapnya buku K13 atau mengharap fee. Penolakan itu bisa jadi ketidaksiapan guru melaksanakan K13, baik dalam administrasi perangkat, pelaksanaan pembelajaran maupun penilaian. Guru bagai menjalankan mission imposible. Pendekatan scientifik dan penilaian autentik dengan menggunakan seabreg indikator penilaian bisa membuat rambut rontok dan tangan keriting. Kalau toh guru sambat atau bertanya kepada nara sumber, jawaban yang didapat adalah, “masa guru tidak punya cara. Kan bisa disiasati?”.  Nah!!, Guru kok belajar tidak jujur? Lantas bagaimana lagi? Sebagian guru lain malah dengan enteng menjawab, “Memberi nilai anak dengan predikat  A, B, C ..... D apa susahnya sih, sambil memejamkan mata bisa. Soal diskripsi serahkan saja kepada kurikulum atau operator. Beres. “ Itu sebagian contoh keluhan guru terkait K13.
            Maka wajar sekali apabila banyak pihak menganggap bahwa K13 lahir prematur. Sebagai sebuah kebijakan nasional, terasa aneh apabila pelaksanannya tidak  kompak dan terkesan amburadul. Jika di lingkungan Kemendikbud, implementasi K13 dipaksakan serentak langsung di dua tingkat sekaligus, tidak demikian halnya sekolah/madrasah di lingkungan Kementerian Agama. Di tahun ajaran 2014/2015, implemetasi K13 baru untuk siswa baru di satu tingkat. (Misal di MTS baru kelas VII). Bagaimana jika sudah 3 tahun K13 dijalankan, terkait ujian akhir? Apa sendiri-sendiri yang satu menggunkan K13 yang lain KTSP?
            Hingga Oktober 2014 ini saja, masih banyak sekolah yang belum menerima buku K13. Dampak belum lengkapnya buku K13 tidak hanya dirasakan oleh sekolah, guru dan siswa. Para orang tua juga uring-uringan. Kiat memfotocopy materi untuk bab awal belum membuat sekolah nyaman. Mau memfotocopy, nanti SPJ-nya dianggap double account karena nantinya sudah ada buku. Dibebankan ke orang tua juga memberatkan. Serba repot. Jika sekolah boleh menfotocopy pun, bagi sekolah besar tidak masalah, sedang bagi sekolah kecil anggaran BOS yang tersedot bisa menggangu operasional sekolah. Itupun perlu ada kebijakan hitam di atas putih agar kelak SPJ BOS untuk foto copy buku K13 sah.
            Yang jelas, belajar tanpa buku ibarat berlayar tanpa peta. Jika ingin tetap sampai tujuan, nakhoda akan menggunakan tanda-tanda alam sebagai pemandunya. Tidak ada rotan, akar pun jadi, tidak ada jendela ventilasi udara pun bisa. Buku K13 bukan kitab suci. Buku K13 boleh tersendat. Tetapi anak-anak bangsa butuh guru hebat. Guru hebat tidak tergantung buku, tetapi guru yang punya integritas, kreatifitas, kesabaran dan kaya hati. 

Tulisan ini dimuat dimajalah Media edisi November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar