Rabu, 11 November 2015

PBP bukan PHP



Orang bisa karena biasa. Memulai dari yang kecil, dari diri sendiri dan mulai dari sekarang. Begitu nasehat bijak menuturkan bagi orang agar bisa sukses dan bermartabat. Sayang, kenyataan menunjukkan orang Indonesia yang dikenal ramah tamah, sabar, santun, suka menolong, hidup bergotong-royong,tidak mudah menyerah dan punyarasa nasionalis tinggi, mulai luntur. Tengok saja kejadian sehari-hari disekitar dan lewat media.Orang dengan mudahnya membuang sampah sembarangan, merokok seenaknya tanpa memperhatikan sekitar, lebih suka berebut daripada antri, sampai perang antar kampung. Di kalangan pelajar, tawuran merajalela, anak lebih suka bermain gadget daripada membaca buku,tindak asusila merebak, anak lebih suka mengadopsi budaya asing, serta semangat belajar anak-anak kendor.
Coba pembaca perhatikan anak-anak usia sekolah. Sikap hormat anak kepada orang tua dan guru berkurang. Di jam sekolah siswa-siswa berseragam keluyuran,  mulai sore hingga malam hari banyak calon generesi emas ini begitu enaknya menikmati hidup. Nampang di pinggir jalan, duduk santai sambil makan di warung ataupun angkringan pinggir jalan sambil merokok, astaghfirullohal’adziim. Belajar dianak tirikan.
Fenomena di atasnampaknya menggugah perasaan para pengampu negeri ini untuk mengawal anak-anak negeri ini menjadi insan paripurna. Insan yang tangguh, berakhlaqul karimah, nasionalisdan berkompeten.Hanya saja, haruskah segala sesuatu yang berkaitan dengan peri kehidupan ini diformalkan. Terlalu diatur. Ingat, bahwa semakin banyak aturan dibuat, justru akan ditabrak dan bisa mengakibatkan kontra produktif. Para guru bisa merasakan, bagaimana pelaksanaan tata tertib siswa dengan sistem point. Meski aturan sudah disosialisasikan dan disepakati oleh sekolah bersama orang tua wali, toh punishmentnya sering tumpul ketika pointpelanggarannya sudah melampui batas toleransi. Karena alasan kemanusiaan. Ujung-ujungnya aturan tinggallah dokumen hitam putih yang terpajang indah di dinding.Selain itu pelaksanaan program yang tidak merinci teknis pelaporan hanya akan menambah beban kerja yang akhirnya berlalu begitu saja. Apalagi kalimat dalam permen yang menyebut, sekolah yang tidak melaksanakan akan diberi sanksi tanpa menyebut bentuk sanksinya dianggap terlalu dangkal.
Karena sebelum Permendikbud Program Pembudayaan Budi Pekerti diluncurkan, pembiasaan yang dicanangkan sudah banyak dilaksanakan sekolah. Baik yang berdiri sendiri atau terintegrasi dalam kegiatan intra, ekstra maupun nonkurikuler. Jadi PBP hanyalah pengulangan ataupun penegasan. Dengan kata lain hanya bentuk legalitas. Kalau toh PBP ini berhasil, hal ini lebih tergantung kepada kultur sekolah itu sendiri sudah berjalan.Sekolah yang kultur sekolahnya berjalan baik, PBP bukan hal baru. Tetapi sekolah yang kulturnya belum mapan, PBP lebih menjadi beban kegiatan.
Dan karena PBP ini sudah diformalkan, tentu saja harus dilaksanakan sesuai dengan regulasi. Untuk mengukur tingkat keberhasilan pasti ada indikator beserta rubrik evaluasi. Program dijalankan bagaikan angin mengalir saja, sebagai budaya. Tidak perlu harus dengan kawalan ketat. Dengan mengalir, tanpa merasa diawasi, kegiatan lebih alamiah. Monitoring dan evluasi tetap perlu dilakukan secara periodik oleh pihak sekolah sebagai self assesment.
Evalusai dilakukan dalam bentuk keterlaksanaan dan hasil. Keterlaksanaan berdasarkan program, jurnal dan daftar  kegiatan. Sedangkan keberhasilan diukur dengan  melihat fakta dan data yang diperoleh dari isntrumen pengukuran baik dalam bentuk kuantitatif maupun kualitatif.Misalnya, bisa dipantau dari tingkat kebersihan, kenyamanan, tidak adanya corat-coret, tingkat kenakalan dan tentunya prestasi sekolah.
Agar keberhasilannya bisa dilihat dan diamati perkembangannya, hal-hal yang diprogramkan dalam PBPdibuatkan penilaian yang dilaporkan bersamaan dalam pelaporan hasil belajar siswa.Bagi sekolah pelaksana kurikulum 2013, pelaporan implisit dalam penilai sikap spiritual maupun sosial dan penilaian ektra kurikuler. Sedangkan bagi sekolah bukan pelaksana K13, pelaporan bisa implisit dalam mapel Agama dan PKn serta dalam penilaian pembiasaan.
Keberhasilan memang tidak harus terlihat dalam bentuk angka-angka. Perikehidupan sekolah yang berjalan kondusif, aman, nyaman, tentram, minim pelanggaran dan berprestasi adalah salah satu indikator keberhasilan PBP. Hukuman hanya akan membuat orang melaksanakan kewajiban sekedar menggugurkan kewajiban. Kesadaran melaksanakan justru akan membuat keterlaksanaan program berjalan alami dan membuahkan hasil positif.  Sekolah yang tidak menjalankan PBP atau apapun nama kegiatannya,pasti perikehidupan di sekolahnya tidak berjalan baik. Dan masyarakat sekarang sudah pintar. Bisa memilah dan memilih sekolah terbaik. Sanksi formal tidak perlu, sanksi sosial-lah yang akan memberi pelajaran. Masyarakat lebih merindukan sekolah yang mendidik putra-putrinya dengan mental, attitude, spiritul dan intelektual. Jangan sampai PBP hanya sekedar program, agar sekolah bukan PHP, pemberi harapan palsu yang akhirnya ditinggalkan masyarakat. Mau!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar