Senin, 11 April 2016

Toleransi Linierisasi Jangan Mereduksi Mutu Pendidikan



           Bukan salah bunda mengandung, tetapi salah bapak tidak memakai sarung, Begitu guyonan untuk program KB yang kurang memuaskan hasilnya. Tidak mungkin anak ketiga dimasukkan kembali ke rahim ibu, bukan? Guru juga punya joke : bukan salah guru lolos sertifikasi, mengapa aturan linierisasi datang belakang hari. Tujuan utama meningkatkan mutu pendidikan lewat profesionalisasi guru dengan bonus TPP, awalnya memang untuk menghargai guru kompeten sesuai yang diundangkan. Belakangan syarat-syaratnya direduksi, dan mengalah. Meminjam istilah Pak RT dalam serial kartun Keluarga Somad, “demi kesejahteraan bersama, teh….”.

            Seiring berjalannya waktu, nampaknya pemerintah sadar, bahwa guru memang harus profesional. Legal formalnya, salah satunya guru harus punya SIM (Surat Ijin Mengajar) yang sesuai. Start salah berujung kepada laju tidak stabil. Kualitas pendidikan yang ditandai berbagai parameter out put sekolah, baik dalam bentuk angka atau akhlak menunjukkan mesin pendidikan tidak bekerja sesuai tupoksinya. Ibarat mesin, bakan bakarnya pertamax, tapi lajunya bak jalannya gerobak. Karena cc mesin memang tidak layak terjun di medan laga. Kalau mesin sudah tua, diupgrade seperti apapun, susah untuk menjadi mobil balap. Maka, pemilik mesin harus bisa memilah dan memilih, mesin seperti apa yang perlu di upgrade dan yang tidak.  Maka dengan keluarnya surat Edaran Linearitas Kualifikasi Akademik dalam Kepangkatan Guru nomor  134741/B.BI.3/HK/2015, setidaknya sudah menampung aspirasi guru yang masuk kategori mesin tua. Jadi perlakuan istimewa seperti ini sesuatu yang wajar. Lha kalau tidak bisa dipaksa, mau diapain lagi? Galau sertifikasi berujung toleransi.

            Jangan kagetan dan jangan mudah heran. Berbagai kebijakan di negeri ini acap kali membuat kita bingung atau kadang tersenyum kecut. Pendidikan yang sering menjadi komoditi politik dirasa menjadi medan pencitraan. Untuk meredam gejolak guru, langkah pemerintah yang sering berubah-ubah dalam menjalankan proses sertifikasi harap dimaklumi. Jangankan tuntutan menjadi guru professional seperti dalam PP no 74 tahun 2008, untuk proses pengajuan pangkat dengan syarat pembuatan dan publikasi ilmiah saja masih ditawar? Syarat-syarat kompetensi sebagai guru profesioanal masih sekedar normatif. Pokoknya ada dan berjalan baik berdasar penilaian atasan.

            Ibarat paket kebijakan ekonomi berjilid-jilid, kebijakan sertifikasi setiap saat berubah, sesuai cuaca. Bukankah di bagian akhir keputusan lazim tercantum “Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan akan dilakukan perbaikan jika dikemudian hari ditemukan kesalahan”, ditambah kata-kata jurus pamungkas bahwa surat keputusan itu bukan kitab Tuhan, jadi setiap saat bisa diubah. Banyak aturan/undang-undang, yang pada awalnya disusun idealis dengan tujuan mulia, lambat laun dikebiri dengan kebijakan tambahan yang diselipkan agar mudah untuk “dibijaksanai”. Contohnya tarik ulur UU KPK. Sikap lunak pemerintah yang sering dicap plin-plan, justru menjadi boomerang bagi dunia pendidikan. Tujuan hakiki pemberian TPP lewat sertifikasi jalurnya tidak lagi pada rel semula. Rohnya terabaikan, mutu yang diharapkan tak kunjung terwujud dengan apik.

            Secara mendasar SE itu memang kontra produktuktif. Namun apa daya, berbagai permasalahan di lapangan soal linearisasi juga tidak kalah pelik. Terutama dari sisi tehnik, belum biaya. Dari sisi penguasaan materi ajar saja misalnya, bagaimana mungkin guru yang tidak menguasai mata pelajarannya dipaksa mengajar mapel lain. Entah awalnya tidak ada guru, atau sekedar memenuhi alokasi waktu 24 jam. Lha wong yang linear saja, masih banyak jauh panggang dari api. Memang, masih ada guru mumpuni meski ijazahnya tidak  sesuai karena pengalamannya sudah lama dan mau belajar, tetapi itupun tidak banyak..

            Untuk linierisasi kualifikasi S1 ada beberapa kendala. Disamping faktor umur yang berdampak terhadap kesehatan dan semangat belajar, beberapa jurusan tidak berada di kampus yang ada di daerahnya sendiri atau kota terdekat. Kalaupun ada, untuk membuka kelas tersendiri bagi guru juga sulit, karena pihak kampus mensyaratkan jumlah mahasiswa tertentu. Padahal untuk jurusan tertentu, guru yang belum S1 sedikit. Jika mengikuti kelas regular berbenturan dengan kebijakan, karena tidak mungkin meninggalkan jam mengajar. Jika harus ke kota yang jauh, terpaksa harus cuti di luar tanggungan, dan ini sangat janrang guru mau. Selain costnya tinggi, juga masalah keluarga. Maka kalau banyak guru yang merasa tidak mampu memenuhi persyaratan S1 linear lantas rela tidak menerima TPP tetapi akhirnya mengajar ogah-ogahan apalagi mengajukan pensiun dini, bagaimana nasib anak-anak? 

            Mekanisme sertifikasi yang berubah-ubah tidak masalah. Yang penting wajar dan bisa  dilaksanakan guru. Bukan siapa yang punya idea, sekedar beda nomenklatur atau malah membuat takut guru.  Jalur portofolio rawan pemalsuan dokumen. Jalur ini baik, karena bisa terlihat rekam jejak serta menghargai karya, karsa dan pengabdian guru. Jalur PLPG baik untuk menambah ilmu. Tetapi waktunya terlalu singkat  untuk menunjukkan hasil sebuah diklat, serta membuat peserta stress. Jalur PPG perlu waktu lama, tempat dan biaya banyak. Bagi guru yang usianya lanjut, terlalu berat. Bagi guru yang sudah berkeluarga tidak bisa optimal karena banyak gangguan, salah satunya masalah keluarga.

Dari ketiga jalur itu, nampaknya PLPG plus merupakan jalan tengah terbaik. Disamping bisa mengetahui modal awal pendidik, pendidik juga mendapat bekal ilmu. Tentu saja perlu pembenahan dari segi pelaksanaan dan materi, terutama materi-materi yang mengandung nilai stress tinggi, semisal membuat karya tulis. Pelaksanaan PLPG bisa dibuat dengan system IN – ON –IN  servis. In servis pertama satu pekan, on servis 2-3 bulan dan in servis kedua satu pekan. Pada in servis pertama digunakan untuk mengetahui kemampuan dasar guru dan pembekalan. Saat on servis guru menerapkan hasil in servis dengan pembimbingan secara on-line, termasuk mengumpulkan data dan menyusun kerangka karya tulis. Dan pada on servis kedua, dilakukan pengecekan hasil, hingga guru mampu menghasilkan KTI yang orisinil.  Dengan pola PLPGPlus, profesionalisme guru akan terbangun secara simultan seiring bertambahnya pengalaman guru. Kalau ada kambing hitam kala kegagalan datang, pasti ada jalan keluar saat  bertemu jalan buntu. 

 

 Tulisan ini dimuat di majalah Media edisi April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar