Senin, 01 Juni 2009

Pancasila: Kelahiran yang Jarang Dirayakan

Enam puluh empat tahun lalu, tanggal 1 Juni 1945 Indonesia mempunyai nama cikal bakal dasar negara: Pancasila. Umumnya hari lahir bersejarah dirayakan. Tapi mungkin kelahiran Pancasila ini hampir tidak pernah dirayakan. Tidak ada upacara, tidak ada kue ulang tahun, tiup lilin apalagi syukuran. Mungkin 1 Juni 2009 ini akan ditayangkan, para tokoh politik berkumpul di depan patung Soekarno-Hatta di Jakarta. Mejeng di depan patung pencetus nama Pancasila. Atau membuat ceremonial sendiri, memperingati kelahiran Pancasila bercirikan kepentingan yang diusung. Memanfaatan moment, menarik simpati menjelang pilpres. Padahal seluruh organisasi yang berdiri di rupublik ini semua mempunyai asas tunggal, Pancasila. Mengapa kelahiran Pancasila jarang atau bahkan tidak dirayakan?

Kita-kita yang jauh dari Jakarta mungkin saja tidak akan merayakannya. Terdiam di rumah atau di tempat kerja. Tanpa peduli arti penting dari sebuah kelahiran bersejarah. Yach, Pancasila adalah dasar negara. Didalamnya terdapat nilai-nilai luhur bangsa yang tercermin dari sila-sila. Sila-sila yang merupakan manifestasi peri kehidupan beragama, norma, susila, kwmanusiaan, kebersamaan, persatuan dan kesatuan, demokrasi, keadilan dan kemakmuran. Sila-sila yang tidak akan pernah diubah selama republik ini berdiri.

Tugas kita sekarang menjaga Pancila tetap sebagai dasar negara. Mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Janganlah Pancasila sekedar menempel di dinding rumah dan kantor. Diapit sepasang pemimpin negara yang setiap saat diganti. Kita mungkin meradang, melihat yang terjadi di sekitar kita. Mulai buruh, petani, pegawai, pengusaha, pejabat hingga para pemimpin negeri ini.

Kehidupan kita kadang tercabik, terkekang bahkan terampas oleh keadaan. Keadaan yang tidak mampu kita kendalikan. Negeri kita berke-Tuhanan, tapi keyakinan kadang dipaksakan. Dipertentangkan hanya masalah khilafiyah. Penguasa kadang bagaikan Tuhan. Membuat keputusan tanpa dapat dibantah. Tanpa ampun menggusur yang lemah. Bangsa kita ramah tamah, tapi rasa kemanusiaan sering terabaikan. Nusantara itu satu kesatuan, tapi kelompok-kelompok kecil saling serang. Berebut pengaruh ingin jadi raja, sang penguasa. Tak mau dikendalikan, ingin memisahkan diri dari negara kesatuan. Kita hidup berdemokrasi, tapi komunikasi sering terbuntu birokrasi. Negeri kita kaya raya, tapi kekayaan alamnya dikuasai orang luar dan yang punya kapital besar.

Kemiskinan jadi kebanggaan. Dipamerkan untuk menarik hutang berbalut hutang luar negeri. BLT turun, banyak yang mendadak miskin. Yang kuat antri terdepan. Sementara yang tua renta banyak tertindas, terhimpit antrian. Subsidi diperdebatkan, yang berdasi cari keuntungan. Sumpah dan janji jabatan cuma ceremony, karena korupsi dan kolusi masih menghinggapi. Akankah negeri ini akan terus begini. Ataukah Pancasila memang sudah terlupa? Tergantikan nafsu dan angkara murka?

Kita berharap Pancasila tak akan lekang di telan jaman. Tak akan menyesuaikan trend dunia dan pesanan. Tak bergeming oleh pergantian pemimpin. Tanpa perayaan tak mengapa. Semoga Pancasila tetap jaya dan melekat di hati hingga akhir jaman nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar