Jumat, 19 Juni 2009

JANGAN MATIKAN MATEMATIKA

Tulisan ini pernah di muat di Jawa Pos program Untukmu Guru tanggal 25 Februari 2009

“Hore, matematika kosong!”. “Semoga pak guru matematika tidak masuk”. “Nanti guru matematikanya ada atau tidak, PRnya dikumpulkan apa tidak ya?”. “Waduh! Tidak bisa mengerjakan PR, PR-nya banyak. Sulit lagi”. Ungkapan kegembiraan, kegelisahan dan do’a salah alamat di atas sering menjadi gambaran pelampiasan kebencian siswa terhadap matematika. Matematika masih menjadi momok bagi banyak kalangan. Bahwa matematika sulit, itu jelas. Guru matematika itu menakutkan, mungkin sekedar isu. Apakah matematika sekarang masih sulit dan ditakuti? Tergantung.
Matematika yang identik dengan kesulitan mungkin karena penampakannya, baik dari sisi materi, pembelajaran ataupun pengajar. Tetapi bukan berarti matematika sesuatu yang sulit dipelajari. Ketakutan kepada matematika bisa berakibat fatal. Kebencian terhadap matematika bisa mengakibatkan pobia ataupun sindrom matematika. Begitu mendengar kata matematika, terbayang rumus-rumus yang jlimet, teorema yang “mbulet”, bangun geometri yang sulit dibayangkan, perhitungan yang rumit dan aturan-aturan lain yang kadang sudah seperti hukum Tuhan. Tak bisa ditawar. Ya, matematika adalah ilmu pasti. Matematika dianggap benda mati. Tak bisa diganggu gugat, harus diterima apa adanya. Kalau hal ini terjadi, matematika akan mati dengan sendirinya. Tidak ada yang menyentuh, mempelajari bahkan mengembangkannya.
Belum lagi jika dalam pembelajaran matematika sering diidentikkan dengan guru “galak”, jarang tersenyum, nilainya pelit atau suka memberi hukuman karena tidak mengerjakan PR. Padahal siswa yang tidak mengerjakan PR mungkin dikarenakan kesulitan dan terlalu banyaknya PR. Disamping pembelajaran di kelas begitu-begitu saja. Diterangkan, diberi dan disuruh menghafal rumus, diberi contoh soal, mengerjakan soal latihan dan sebelum pulang diberi bekal tugas. Rutinas monoton dan menjemukan.
Guru matematika sebenarnya tahu akar permasalahan mengapa pembelajaran matematikan tidak berkembang dan cenderung mempunyai hasil tidak memuaskan. Hanya saja guru matematika tidak segera mengubah paradigma pembelajaran yang terbiasa dilakukan. Padahal dari sisi materi tidak banyak perubahan berarti. Dengan materi sama gurupun cenderung menyampaikan dengan cara sama dari waktu ke waktu. Malah ada anggapan, “Lha wong diajar begini saja sudah banyak yang lulus, NUN-nya tinggi lagi. Kenapa mesti berubah?” Kalau guru menyadari dengan cara biasa sudah baik kenapa tidak ditingkatkan? Berinovasi, mencoba untuk berubah. Meminjam slogan Sutrisno Bachir, “Hidup Adalah Perubahan”.
Sering dilupakan guru matematika adalah adanya faktor X yang berpengaruh dalam proses pencerdasan anak bangsa. Siswa juga manusia, punya akal, perasaan dan harga diri. Perlu stimulus untuk mendapat respon positif. Matematika yang bersifat abstrak, deduktif aksiomatik memerlukan alat bantu dan pendekatan humanis terhadap anak.
Penggunaan media dan pendekatan pembelajaran yang efektif dan penuh cita rasa bisa membangkitkan gairah siswa untuk belajar matematika. Sehingga gambaran matematika (dan guru matematika) laksana benda mati yang tidak bisa diajak kompromi, gugur dengan sendirinya. Matematika bisa dianggap benda hidup, bisa diajak bicara, mempunyai nilai seni, dapat digunakan bermain dan dapat dimainkan. Pemahaman konsep matematika tidak saja karena gurunya yang pandai, bukan karena terlalu banyaknya siswa diberi PR ataupun bukan hanya canggihnya media.
Materi matematika yang disajikan menarik dengan media apapun dapat mempermudah pemahaman konsep dan pengembangannnya. Pendekatan guru kepada siswa dalam interaksi pembelajaran di dalam dan di luar kelas dapat menciptakan simbiosis yang saling menguntungkan untuk mencari kelemahan, kekurangan dan pemecahan demi menghidupkan matematika di lubuk sanubari guru dan siswa. Hingga matematika laksana makhluk hidup yang membumi, menyatu untuk bersama-sama bisa menghidupkan matematika.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar