Rabu, 03 Juni 2009

PESAN UNTUK PEMIMPIN

Tulisan ini sebenarnya sudah saya tulis 19 April lalu menjelang Unas. Waktu itu saya belum punya blog. Ternya apa yang saya kuatirkan terjadi. 33 SMA dan beberaapa SMP harus ujian ulang. Sebuah tragedi dunia pendidikan. Siapakah yang salah? Semua tergantung pada pemimpin. Dan Baru sekarang saya postkan.


Pelajaran berharga baru saja dipetik dari perhelatan akbar Pileg 9 April 2009. Ternyata, jika orang tidak siap kalah, ujung-ujungnya maut dan RSJ jadi hunian. Padahal mulai 20 April hingga awal Mei ada hajatan nasional yang tidak kalah beratnya yaitu Ujian Nasional.
Akankah akan ada korban seperti caleg yang gagal? Alhamdulillah, sampai saat ini belum tersiar kabar rumah sakit menyiapkan sal khusus bagi yang stress gagal ujian nasional. Meski demikian bukan berarti stress tidak melanda. Banyak siswa, guru, orang tua, kepala sekolah dan para pemimpin tidak bisa tidur nyenyak. Bayang-bayang gagal unas menghantui. Begitu besarkah efek unas? Kalau dipikir-pikir, yang salah yaa .. yang mikir itu sendiri. Lha wong unas itu setiap tahun dilaksanakan, kenapa tidak memetik hikmahnya? Sebuah ujian ada yang gagal adalah wajar. Malah ada pakar yang menyatakan, ujian yang berhasil 100% itu patut dipertanyakan. Lha... gimana too ini sebenaranya!
Psikolog Dadang Hawari dalam satu kesempatan menyampaikan bahwa caleg-caleg yang stress atau mengakhiri hidup dengan cara pintas, adalah berpendidikan menengah ke bawah. Bahkan dimungkinkan, kalau mereka jadi caleg sungguhan belum tahu tugas dan fungsi sebagai wakil rakyat. Yang nampak hanya enaknya saja, cepat balik modal dan kaya raya. Bukti pendidikan itu penting.
Apa hubungan pileg dan unas? Unas adalah salah satu tolok ukur keberhasilan pendidikan. Pileg tolok ukur keberhasilan demokrasi. Suka atau tidak, ada mata rantai antara pendidikan dan politik. Hanya yang disayangkan adalah politisasi pendidikan. Apalagi dalam suasana pileg, pilkada maupun pil-pil lainnya. Karena pendidikan sering jadi komoditi politik, dikuatirkan kegagalan pendidikan (unas) berdampak di panggung politik dan kekuasaan. Untuk itu harus ada benang pemisah. Politik urusannya politik pendidikan ya ngurusi pendidikan.
Di sekolah guru dan kepala sekolah sudah bekerja keras menyiapkan siswanya menghadapi segala tugas dan tanggung jawab, tidak hanya untuk unas. Para pemimpin lembaga pendidikan tidak henti-hentinya memberi wejangan dan motivasi agar unas sukses. Tetapi melihat hasil try out yang sudah berkali-kali, wajar rasanya jika semua yang terkait pendidikan jadi was-was. Haruskah was-was itu membuat guru kalang kabut? Tentu tidak boleh.
Tidak ada guru yang menginginkan anak didiknya gagal. Tidak ada sekolah pasang target kelulusannya kurang dari 100%, meski tahun-tahun sebelumnya ada yang tidak lulus. Semua ingin lulus 100%. Tetapi semua kembali kepada usaha dan doa. Hanya Tuhan yang bisa menentukan keberhasilan/kegagalan 100%. Jika semua proses dan aturan dijalani dengan benar, kegagalan bukanlah kiamat. Guru, orang tua, kepala sekolah, pimpinan lembaga dan daerah adalah pemimpin. Dan kelak, semua pemimpin akan diminta pertanggung jawaban.
Selama tiga tahun guru menggulowentah anak bangsa, semua bekal ilmu sudah diberikan. Pendidikan moral dan akhlaqul karimah disiapkan. Bekal psikologis ditanamkan, demi sukses ujian. Tidak lupa membelajarkan politik seperti para elite politik yang berikrar siap menang dan siap kalah sebelum pesta rakyat. Para guru dan kepala sekolah tidak segan-segannya memberi petuah agar yang berhasil tidak boleh sombong yang gagal tidak kecewa.
Susu sebelanga tidak akan rusak karena setitik nila. Nila bisa dikarantina dan diperlakukan dengan baik hingga nila itu bermanfaat. Kalau toh hasil unas tidak sesuai harapan, tidak perlu mencari kambing hitam. Apalagi guru yang dijadikan kambing hitam, padahal guru jelas bukan seekor kambing. Kegagalan adalah cambuk. Korban kegagalan bisa bermetamorfosis ke ujud yang lebih baik. Daripada keberhasilan yang bersifat fatamorgana.
Para orang tua yang terbiasa cuek selama hampir tiga tahun, secepatnya mengubah pola pikir bahwa sekolah adalah tempat penitipan anak-anaknya. Terbiasa lepas tangan ketika proses berlangsung, mencaci maki tatkala menemui kegagalan. Luangkan waktu, beri perhatian dan awasi putra-putrinya menjelang unas. Beri teladan, jangan hanya melarang tetapi larangan itu tidak berlaku bagi orang tua. Do’akan mereka, beri bekal rohani jangan hanya materi. Keberhasilan tidak perlu dibanggakan. Kegagalan tidak perlu disesalkan. Kegagalan jangan serta merta ditimpakan kepada guru dan sekolah. Tapi mungkin karena putra-putri bapak/ibu yang sering berbuat ulah, meski manis di rumah. Sesal memang datangnya dikemudian. Sebelum terlambat segera berbenah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar