Senin, 10 Februari 2014

Galau K13 : Belajar ala sekolah nilai rasa kuliah, efektifkah?



Galau K13 : Belajar ala sekolah nilai rasa kuliah, efektifkah?
K13 bagaikan kapal yang akan menyeberangi samudra,  dengan muatan penuh harus segera berangkat. Nakhoda kapal (guru) harus siap setiap  saat jika sewaktu-waktu ada badai atau penumpang butuh bantuan. Barang-barang penting yang belum terangkut akan disusulkan. Bisa cepat bisa lambat, tergantung cuaca. Dan ini terbukti. Ketika para guru di sekolah piloting menerima pembekalan di bulan Juli, baru medio Oktober 2013 tata cara penilaian dan model rapor K13 datang. Terbitnya Permendikbud RI Nomor 81A Tahun 2013  Tentang  Implementasi Kurikulum  menjawab pertanyaan terutama seputar penilaian dan penulisan rapor.
“Tidak adil, Pak!” begitu tanggapan anak-anak ketika saya menyampaikan model penilaian rapor versi kurikulum 2013 (K13).  Bagi sebagian besar siswa penulisan rapor K13 menimbulkan  rasa ketidak adilan. Betapa tidak, penulisan hasil belajar di rapor menggunakan gaya baru. Tidak lagi menggunakan skala 0-100, tetapi menggunakan skala 1-4 (kelipatan 0,33) untuk aspek pengetahuan dan ketrampilan serta  A-D untuk aspek sikap. Akibatnya nilai yang muncul tidak menampakkan prestasi dengan tegas, karena nilai hasil konversi berasal dari selang nilai. Penilaian  K13 menimbulkan kegalauan.
Nah, terbitnya tata cara penilaian dan penulisan rapor tidak serta merta menjawab pertanyaan. Tetapi justru menimbulkan beberapa pertanyaan. Apa sebab? Ya, karena ketika pedoman penilaian ini akan diterapkan ada perbedaan. Hal ini didapat penulis dari beberapa sumber yang membawa pulang hasil workshop. Dari workshop (WS) guru pendamping di tempat A dan B, misalnya untuk penulisan rapor unsur pengetahuan dan ketrampilan menggunakan huruf A-D sedang di WS pengawas dengan angka 1-4 (kelipatan 0,33). Yang aneh lagi, rentang nilai untuk mengkonversi nilai di WS di tempat A dan B juga beda. Di tempat A rentang nilai skor mentah (0-100) yang akan dikonversi sudah ditetapkan seperti dalam buku panduan peserta  Lembar Kerja Pengisian Buku Rapor (SMP/SMA) LK5.2. Sedang hasil di B menggunakan rumus konversi dengan rumus : (nilai 0-100)X4:100.
Berikut tabel penilaian berdasar hasil workshop K13 di kota A dan B
Rentang skala 0-100 Versi A
Rentang skala 0-100 versi B
Nilai rentang 1-4
Nilai dengan
Predikat
86 -100
92 – 100
4
A
81- 85
84 – 91
3.66
A-
76 – 80
76 – 83
3.33
B+
71-75
67 – 75
3.00
B
66-70
59 – 66
2.66
B-
61-65
51 – 58
2.33
C+
56-60
42 – 50
2
C
51-55
34 – 41
1.66
C-
46-50
26 – 33
1.33
D+
0-45
25
1
D
            Bedanya rentang nilai untuk dikonversikan ke dalam A-D atau 1-4 tentunya menimbulkan pertanyaan besar. Konversi dengan skala besar justru menghasilkan kualitas semu. Apalagi jika nantinya nilai rapor ini akan dipakai untuk melanjutkan ke tingkat berikutnya, merangking atau memetakan kemampuan siswa. Hasilnya bisa kacau. Ambil contoh nilai anak seperti di tabel berikut.
NAMA
SISWA
VERSI
NILAI
Mata Pelajaran

P
Q
R
Rata-rata

X
0 – 100
100
100
91
97
VERSI A
A/4
A/4
A/4
A/4
VERSI B
A/4
A/4
A-/3,66
A/3,88

Y
0 – 100
86
82
91
86,33
VERSI A
A/4
A-/3,66
A/4
A/3,88
VERSI B
A-/3,66
B+/3,33
A-/3,66
A-/3,55

Z
0 – 100
86
81
86
84,33
VERSI A
A/4
A-/3,66
A/4
A/3,88
VERSI B
A-/3,66
B+/3,33
A-/3,66
A-/3,55

Dari contoh di atas terlihat, anak yang secara fakta mempunyai nilai lebih tinggi, setelah dikonversi bisa jadi mendapat predikat lebih rendah. Atau nilai tinggi dan rendah dengan rentang jauh mendapat predikat sama. Hal seperti inilah yang dianggap anak tidak adil. Tidak itu saja, ketika nilai sudah dikonversikan, hasil workshop di tempat berbeda juga membawa pulang dua versi penulisan. Yang satu dengan huruh A – D yang lain dengan angka 1 – 4 (rentang 0,33). Membingungkan bukan? Bagaimana sebuah momen penting pendidikan level nasional  tidak satu kata untuk menetapkankan sebuah aturan. Belum lagi kalau melihat format penilaian yang tidak mencantumkan kolom nilai dengan tulisan penjelasan, penulisan nilai dengan abjad khususnya A-, B-, C- sangat rentan dipalsukan. Terlalu mudah mengubah tanda (-) menjadi (+).
            Masih ada hal lain yang perlu didiskusikan, yaitu terkait KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Di dalam Permendikbud lampiran IV halaman 19 disebutkan : 2) Ketuntasan minimal untuk seluruh kompetensi dasar pada kompetensi pengetahuan dan kompetensi keterampilan yaitu 2.66 (B-). Hal ini dipertegas di halaman 25 yang menyatakan: Implikasi dari ketuntasan belajar tersebut adalah sebagai berikut.
a) Untuk KD pada KI-3 dan KI-4: diberikan remedial individual sesuai dengan kebutuhan kepada peserta didik yang memperoleh nilai kurang dari 2.66;
b) Untuk KD pada KI-3 dan KI-4: diberikan kesempatan untuk melanjutkan pelajarannya ke KD berikutnya kepada peserta didik yang memperoleh nilai 2.66 atau lebih dari 2.66; dan
c) Untuk KD pada KI-3 dan KI-4: diadakan remedial klasikal sesuai dengan kebutuhan apabila lebih dari 75% peserta didik memperoleh nilai kurang dari 2.66.
...
Namun kabar dari peserta WS, bahwa KKM tidak dipatok 2,66 (B-) tetapi sekolah bisa menentukan sendiri.  Sebagai sebuah produk hukum, tentunya pemakaian kata “yaitu” berarti KKM ditetapkan sama.  Mungkin pemerintah menginginkan tidak ada lagi jor-joran nilai /KKM seperti yang terjadi selama ini. Karena nilai rapor menjadi salah satu komponen penentu kelulusan, nilai siswa rata-rata tinggi. Salah satu caranya dengan menaikkan KKM, sehingga siswa yang awalnya belum tuntas, setelah remidi akan tuntas dengan nilai yang tinggi pula.
Dampaknya, rapor siswa akan menampilkan perwajahan wah. Mengapa? Berkaca KKM tahun sebelumnya, banyak  menetapkan KKM lebih dari 80. Maka rapor anak-anak nanti hanya akan menampakkan huruf A dan A- atau angka 4 dan 3,66. Wow, keren! Jika ini terjadi, nantinya akan ada kegaduhan pendidikan. Orang/sekolah akan bingung membedakan kemampuan anak jika hanya berpijak rapor. Semua anak kelihatan pintar. Hasil kebijakan yang tidak bijak.
            Pengalaman bapak/ibu guru di kelas mungkin sama dengan penulis.Ketika akan ulangan harian, dan memberi tahu bahwa siswa yang mendapat di bawah KKM akan diremidi, apa jawaban mereka. “Ikut remidi saja, paling nanti nilai sama KKM”. Ulangan dianggap ceremonial. Sepertinya mereka sudah tahu, bahwa dengan remidi soal lebih mudah dan dengan mudah memperoleh nilai minimal sama dengan KKM. Parahnya lagi siswa yang bandel meski remidi diulang tetap mengerjakan semaunya. Guru pun terpaksa memberi nilai sama dengan KKM. Kalau KKM-nya  85, betapa enaknya anak-anak sekarang. Maka jangan heran jika anak-anak menjadi malas. Bentuk kegagalan pendidikan karakter Bekerja Keras. Ironi memang. Dengan KKM seragam dan agak rendah diharapkan nilai rapor anak wajar, mendekati kemampuan aslinya. Sehingga hasil rapor dan UN dapat digunakan untuk pemetaan kualitas pendidikan.
            Oleh karena itu sebelum K13 benar-benar diberlakukan nasional masih perlu revisi. Untuk penilaian pengetahuan dan ketrampilan lebih baik tetap menggunakan skala 0-100. Jika tetap menggunakan 1-4 atau A-D diberi kolom penjelasan dengan huruf atau dengan membuat pembobotan sesuai banyak jam perpekan. Nilai dikalikan dengan beban jam untuk menghasilkan nilai akhir yang bisa dipakai untuk menentukan indeks prestasi. Konversi nilai dibuat proporsional,akan lebih baik jika untuk mencapai nilai tinggi rentang skala lebih kecil untuk memacu anak belajar lebih keras.Sedangkan KKM lebih baik secara nasional sama (2,66/B- sudah cukup baik), sehingga penilaian sebagai sarana pemetaan bisa berfungsi.
Sekilas penilaian K13 lebih keren, mirip penilaian anak kuliah. Dari proses pembelajaran dan penilaian yang rumit ala anak sekolah, guru harus bisa menghasilkan produk nilai yang elegan. Penilaian autentikpun menjadi tidak efektif jika dipaksakan terlalu banyak indikator yang dinilai. Sementara nilai akhir nampak terlalu sederhana. Beda dengan anak kuliahan,  proses dan penilaian sederhana dengan nilai akhir sederhana pula.
 Para pendidik tentu sepakat, bahwa K13 memang salah satu sarana untuk membangun karakter bangsa demi mewujudkan generasi emas di masa datang. Jangan sampai guru-guru sekarang kelak disalahkan karena generasi yang dihasilkan hanya generasi emas palsu.Nilai tinggi yang tercantum di lembar rapor tidak sebanding dengan kemampuan sebenarnya, gara-gara kebijaksanaan. Kurikulum dibuat demi anak bangsa, bukan untuk kepentingan guru atau penguasa. Kurikulum bukan sekedar obat turun panas. Jadi, buat anak-anak jangan coba-coba.

Tulisan ini dimuat di Majalah Media Jatim edisi Pebruari 2014

5 komentar:

  1. SIIP PAK BROOO.... tulisannya....

    BalasHapus
    Balasan
    1. kapan tulisan kayak gini diperhatikan ama yang diteras atas ya

      Hapus
    2. trims pak, makanya k13 akhirnya ditunda implementasinya sec nasional

      Hapus
  2. Bagus pak. Like it banget. Mereka penentu kebijakan tidak melihat real di lapangan kayak apa. kita guru hanya bisa bergumam kayak lagu: "Sakitnya tu di sini."

    BalasHapus
  3. kalo dipaksakan k13 malah jadi bumerang

    BalasHapus