Kamis, 07 Juli 2011

“RSBI/SBI SATU ATAP”

RSBI/SBI & KUALITAS OUTPUT SEKOLAH

Membangun itu mudah. Tetapi memelihara, mempertahankan apalagi mengembangkan lebih sulit. Apa pun itu. Tak terkecuali pendidikan. Sebenarnya ada perasaan bangga bila melihat semangat pemerintah dan masyarakat yang menggebu hendak memajukan pendidikan. Diantaranya dapat dilihat dari maraknya pendirian PAUD hingga perguruan tinggi. Berbagai atribut sekolah pun ditempelkan. Mulai sekolah plus, terpadu, full day hingga yang paling ngetop saat ini RSBI/SBI.
Tidak tanggung-tanggung, promosi di lakukan. Meski kebanyakan masih memamerkan fasilitas dan jenis kegiatan. Tidak mau kalah dengan anggota DPR, siswa-siswa RSBI/SBI pun diajak study banding ke luar negeri. Diberengi dengan upaya sekolah menjalin sister school. Untuk lebih meyakinkan , bahwa sekolah RSBI/SBI sudah sesuai standar internasional, badan standarisasi mutu manajemen seperti ISO pun dihadirkan. Dengan pendampingan dan pembinaan, akhirnya label ISO diisematkan. Pendek kata, jika sudah ada pengakuan baik masyarakat umum hingga lembaga sertifikasi berskala internasional, sekolah RSBI/SBI tidak perlu diragukan lagi.
Namun ternyata di dalam RSBI/SBI sendiri masih banyak yang tidak percaya diri. Bisa dilihat, berapa banyak yang mau membuka diri kepada masyarakat untuk mengakses informasi ke sekolah. Baik itu terkait hasil belajar anak didik hingga pengelolaan keuangan. Belum banyak yang melakukan. Semestinya dengan fasilitas ICT, hal semacam ini tidak bisa dijadikan alasan belum bisa diaksesnya informasi sekolah dalam rangka akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan pendidikan.

. Di sisi akademik, dengan kemampuan input di atas rata-rata sekolah reguler, semestinya proses dan output yang dihasilkan harus lebih baik dari sekolah lain. Apalah gunanya jika fasilitas dan biaya berlimpah namun proses belajar mengajar sama saja dengan sekolah reguler. Diperlukan koki handal untuk meng-up grade siswa-siswa bertalenta ini. Di tangan kepala sekolah dan guru-guru berkompeten nasib R/SBI dipertaruhkan. Lagi-lagi masalah klasik masih menjadi kendala untuk memacu kesusksesan R/SBI yaitu kualitas pengajar. Terutama pemenuhan guru S2. Karena berdasar evaluasi Kemendiknas, kualitas guru RSBI/SBI menjadi faktor belum suksesnya RSBI/SBI, terutama berkaitan dengan penguasaan bahasa asing. Untuk yang satu ini milyaran rupiah digelontorkan untuk men-S2-kan serta mengkursuskan bahasa asing kepada guru. Sudah cukupkah ini?

Okelah, jika R/SBI sudah memenuhi standar yang telah ditetapkan pemerintah, Namun bagaimana jika penyelenggaraannya belum sesuai harapan masyarakat? Menjadi anggapan umum bahwa RSBI/SBI hanya bisa dinikmati oleh mereka yang berkantong tebal. Bahkan orang tua pun ikut-ikutan latah. Berupaya sekuat tenaga meng-golkan anaknya agar diterima. Tanpa melihat kemampuan dan kemauan anaknya sendiri. Dan sekolah melihat peluang emas ini. Ada yang menambah daya tampung tanpa memperhatkan prospek penyelenggaraan pengajaran di kelas. Akhirnya R/SBI berjalan ala kadarnya. Prestasi dan output dinomorduakan.

Inilah sebagaian yang dilihat masyarakat. Idealisme pendirian RSBI/SBI mulai luntur. Keinginan mengutamakan kualitas sering kali dikalahkan oleh kepentingan dan nafsu. Sekolah RSBI/SBI mulai jual mahal. Seperti pasar bebas. RSBI/SBI menjadi komoditi mahal bagi orang miskin. Yang berprestasi sekalipun. Jamak dijumpai, ketika PSB jalur RSBI/SBI dimulai, deretan angka pada isian sumbangan sukarela menjadi pertimbangan utama. Mengalahkan deretan prestasi, namum berasal dari keluarga tidak mampu.

Berbagai sisi negatif itulah yang akhirnya menjadi pijakan kritikus dan penggiat pendidikan agar Kemendiknas mengevaluasi keberadaan RSBI/SBI yang sudah ada. Belum adanya perangkat hukum tegas yang mengatur pembiayaan atau daya tampung ideal sekolah RSBI/SBI , membuat penyelenggara RSBI/SBI leluasa mengatur besaran sumbangan terpaksa sukarela.

Pada akhirnya ini berdampak keluarnya kebijakan Kemendiknas. Untuk sementara tidak membuka RSBI/SBI baru. Ini hendaknya menjadi pelecut bagi penyelenggara RSBI/SBI untuk membuktikan kualitasnya. Berbagai masukan demi perbaikan mutu R/SBI harus segera ditindaklanjuti. Mulai prasarana, managemen, guru dan pemberian kuota bagi siswa miskin berprestasi. Sehingga pandangan masyarakat terhadap SBI hanya untuk yang mampu terhapus.

Memang, dengan adanya RSBI/SBI gaung dan animo masyarakat terhadap pendidikan semakin tinggi. Para orang tua menggantungkan setinggi langit agar anak-anaknya dapat bersekolah di RSBI/SBI demi masa depannya. Terbentuk penyadaran, bahwa untuk memperoleh hasil pendidikan terbaik perlu pengorbanan. Membutuhkan biaya tinggi yang tidak hanya ditanggung pemerintah tetapi juga tanggung jawab orang tua. Kalaulah terjadi komersialisasi pendidikan pasti ada yang salah. Kesalahan sistem serta belum adanya pengawasan dan aturan yang tegas.

Apalagi hingga kini tindak lanjut lulusan SBI masih sama dengan sekolah reguler. Belum ada jalur khusus, dari SMP RSBI/SBI ke SMA RSBI/SBI. Tidak jarang kualitas/nilai UN lulusan RSBI/SBI masih kalah bersaing dengan lulusan sekolah lain. Jika terjadi seperti ini keberadaan R/SBI belum menunjukkan hasil memuaskan.
Agar lulusan SBI lebih terarah kelanjutannya perlu dibuat sekolah SBI linier / satu atap, SD-SMP-SMA. Dengan SBI satu atap, pengelola dapat membuat kurikulum berkelanjutan. Para siswa dan guru tidak terlalu banyak membuat matrikulasi kepada siswa baru. Jika menerima siswa baru dari luar SBI satu atap, terlebih dahulu diadakan seleksi dan matrikulasi materi. Sebaliknya, siswa RSBI/SBI yang tidak memenuhi standar, diharuskan melanjutkan di sekolah lain. Guru-gurunya pun diseleksi dan dipilih yang mumpuni, utamanya bahasa dan penguasaan materi. Dan yang lebih penting, siswa jangan dibebani biaya yang memberatkan. Agar harapan pendidikan berkualitas untuk semu tidak sekedar mimpi.

Tulisan ini dimuat di majalah Media Dinas Pendidikan prop Jatim edisi juli 2011

1 komentar:

  1. Saya setuju sekolah Indonesia harus maju, sehingga outcomenya bisa membangun bangsa Indonesia setara dengan bangsa2 lain yg sudah maju duluan. Namun majunya sebuah bangsa sebetulnya relatif sekali. Ada sebuah bangsa maju sekali tapi banyak anak didiknya bunuh diri. Yang penting bagaimana pemerintah merancang suatu program pendidikan yang jangka panjang dan berbudaya serta religius atas dasar kajian dan evaluasi serta sumber dana dari negara melalui pajak. Pendidikan yang bisa dinikmati semua anak bangsa dari desa sampai kota dan guru2nya sejahtera tanpa berbuat curang memunguti orangtua murid dengan alasan UU pendidikan. Hilangkan sekolah2 favorit, standarkan kualitas masing2 sekolah, semua anak bisa bersekolah tanpa stress, sekolah harus bergembira untuk mengembangkan bakat dan minat untuk masa depannya.

    BalasHapus