Jumat, 10 Oktober 2014

Menghindari Blunder Zone Aman



            Kata orang,  kata “dalam rangka” memasung kreatifitas, suatu bentuk ketaatan melakukan tugas untuk mencapai tujuan sesaat, sekedar menggugurkan kewajiban. Hal itu bisa dirasakan, semenjak bergulir “wajib belajar”, banyak terjadi distorsi idealisme pendidikan. Demi anak bangsa, idealisme untuk sementara mengalah. Hal ini pasti sudah sering dirasakan guru, bagaimana alotnya rapat dinas untuk tidak menaikan anak,  meski secara de fakto anak tidak memenuhi syarat naik atau lulus. Ada saja persyaratan yang harus dilengkapi agar pada akhirnya anak lolos. Naik kelas sepertinya lebih sulit daripada penyidikan KPK yang akan menangkap koruptor. Dampaknya, sekolah (guru) wibawanya berkurang. Sekolah layaknya kegiatan ceremonial. Anak datang ke sekolah bawa duit jajan, duduk,  dengar, dolanan dan daa daa..lulus. Enak sekali.
            Apalagi sekarang dibakukan, tidak ada lagi tinggal kelas bagi siswa SD. Tinggal kelas bukan hukuman, memvonis bahwa anak bodoh, apalagi melanggar hak asasi manusia. Tinggal kelas merupakan bentuk pendidikan sebagai bagian membangun karakter anak. Kalau dalam politik pesta demokrasi ada jargon siap menang dan siap kalah, anak sekolah juga harus siap naik dan siap tinggal kelas. Sekolah merupakan kawah candradimuka, bahwa untuk mencapai keberhasilan harus dengan kerja keras. Kegagalan bukanlah kiamat. Tinggal kelas bukan akhir segalanya. Kegagalan adalah keberhasilan yang ditunda. Dari kegagalanlah orang bisa belajar, agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Bahasa Wak Haji Rhoma Irama, cukup satu kali kehilangan tongkat. Agama juga mengajarkan, bahwa setiap orang beriman pasti masuk surga. Hanya saja, ada yang langsung masuk tanpa hisab, dan ada yang terlebih dahulu merasakan beratnya siksa neraka, tergantung amal dan dosanya. Dengan adanya neraka, manusia lebih berhati-hati untuk bersikap dan berbuat. Jadi, kebijakan penghapusan sistem tinggal kelas perlu dikaji.
            Kalau kebijakan itu tetap dilaksanakan, dikuatirkan tidak hanya membuat anak malas, tetapi juga membuat guru sebagai motor pendidikan, hilang motivasinya. Karena, kebanggaan guru tidak hanya oleh keberhasilan anak didiknya, tetapi juga pengakuan atas eksistensi guru yang ditandai dalam pemberian penilaian. Guru yang sudah berusaha memberikan penilaian yang shahih,  adil dan bijaksana, merasa ditelikung manakala hasil kerjanya diabaikan begitu saja.
            Apalagi selama ini guru sudah terbiasa menggunakan metode mengajar dan penilaian yang sudah mendarah daging dalam bentuk angka-angka. Metode pembelajaran yang menekankan penguasaan materi dan ketrampilan dengan guru sebagai aktor utama, membuat peran guru begitu dominan. Dengan angka,  mudah mengukur kompetensi anak. Manakala penilaian berubah dalam bentuk narasi, tentu metode dan sistem penilaian mengalami perubahan. Penilaian berbentuk narasi juga menuntut kemampuan literasi guru yang hingga kini merupakan salah satu kekurangan guru, dan biasanya normatif dan subyektif. Guru akan terlalu disibukkan dengan kegiatan administrasi. Dampaknya, guru kurang fokus dalam pembelajaran dan perlu merubah metode mengajar.  Guru perlu pelatihan dan pendampingan kontinu, agar guru bisa beradaptasi serta melakoninya.
            Dan tidak bisa dipungkiri, ketika kebijakan sudah diteken, pelaksana di lapangan akan merasakan duri-duri sandungan.  Dengan konsep belajar tuntas,  KKM dan kriteria kenaikan sudah menjadi dokumen 1 KTSP, sekolah sebenarnya sudah punya pijakan untuk melaksanakan dan mengambil keputusan. Termasuk didalamnya untuk tidak menaikkan anak yang tidak memenuhi persyaratan, seperti ketidakmampuan membaca dan menulis bagi siswa kelas 1 SD.  Karena, anak yang tidak baca tulis, sesungguhnya anak tersebut memang belum layak untuk duduk di jenjang berikutnya. Jika dipaksa untuk dinaikkan justru memperberat psikologis dan daya pikir anak. Anak bisa mengulang. Kasihan memang! Namun, dari pada membebani anak, tidak menaikkan anak yang tidak bisa baca tulis merupakan tindakan terbaik untuk menyelamatkan anak itu sendiri. Karena jika selama satu tahun anak tetap tidak baca tulis, anak tersebut kemungkinan besar mempunyai kelainan. Langkah sekolah adalah dengan mengirim/mendatangkan psikiater untuk mendiagnose anak tersebut. Jika ketidakmampuan itu sulit diperbaiki atau bahkan permanen, orang tua anak disarankan untuk menyekolahkan di sekolah khusus.
            Para guru tentunya sudah belajar dari adanya KKM. KKM telah membuat anak merasa berada di zone aman. Tidak ada lagi nilai jelek tertulis dalam rapor. Anak-anak pun menikmatinya dengan belajar santai.            Nah, kalau di SD tidak ada lagi tinggal kelas, hampir bisa dipastikan semangat belajar anak menurun. Hal ini bisa terdeteksi sekarang, ketika tersiar kabar tidak ada lagi Ujian Akhir Nasional untuk SD, anak-anak kelas 6 SD saat ini kurang ada greget belajar. Kenaikan kelas merupakan magnet bagi anak untuk berlomba-lomba memperoleh nilai maksimal. Tidak hanya agar tidak tinggal kelas, tetapi menginginkan nilai terbaik yang kelak berguna untuk melanjutkan sekolahnya.
            Ada nasehat orang Jawa bahwa kalau orang dipangku, dia akan mati, seperti digambarkan dalam penulisan huruf Jawa. Tujuan meniadakan tinggal kelas yang salah satu maksudnya menolong anak-anak berkemampuan rendah, justru bisa menjadi blunder. Bumerang bagi anak. Bagaimana mungkin anak yang kemampuannya tidak memadai dipaksa belajar di level tinggi. Jangankan belajar, main game saja kalau level tertentu belum tuntas tidak bisa naik ke level berikutnya. Sekolah ibarat spiral, jika ada bagian spiral putus, dipastikan tidak tercapai tujuannya.
            Namun, guru tetaplah guru. Guru juga manusia biasa, punya rasa punya hati. Dari  indikator-indikator kompetensi dasar, guru dapat mengukur ketuntasan belajarnya, baik dalam bentuk tes, praktek, portofolio, maupun produknya. Apalagi dengan kurikulum 2013 yang penilaiannya tertuang dalam bentuk  sikap, pengetahuan dan ketrampilan, sebenarnya cukup mudah menilai keberhasilan belajar anak. Mungkin,  pelaporan yang harus dituangkan dalam bentuk diskriptif naratiflah yang membuat guru terasa berat. Untuk hal ini, guru SD layak angkat topi kepada guru TK/PAUD, yang dalam laporan ke orang tuanya memberikan laporan dalam bentuk naratif berlembar-lembar disertai simbol penghargaan keberhasilan peserta didik.
            Namun demikian, sebuah kebijakan seharusnya bukan sekedar meninjau dari sisi humanis atau bahkan atas  rasa belas kasihan.  Jika anak-anak SD sejak dini dininabobokan dengan tanpa ada tinggal kelas, mereka akan mudah terlena dan tidak siap bersaing di dunia global. Masa SD bukanlah zone aman. Zone aman bisa menjadi blunder. Bola yang dimainkan di daerah sendiri bisa direbut pemain lawan dan menceploskan gol atau bahkan melakukan gol bunuh diri, dan kita kalah di depan publik sendiri. Indonesia hebat lahir dari zone perang, bukan di zone aman.

Tulisan ini dimuat di majalah Media edisi Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar