Minggu, 31 Juli 2016

Kampus : Pencetak Entrepreneur bukan Pengangguran



Hidup memang pilihan. Ketika seorang sarjana tidak lagi diwajibkan membuat skripsi, ibarat koki memasak tanpa pernah membuat resep. Meski enak, orang lain tidak akan bisa meniru masakannya. Seorang koki pun ingin dikenang lewat catatan resepnya. Jika menulis skripsi dihilangkan, ibarat membelajarkan anak untuk tidak dikenang. Menulis skripsi adalah momen monumental. Ada romantika sedih, senang, dan kepuasan. Apalagi jika hasil skripsinya benar-benar hal baru. Belum hilang dari perbincangan kita, kala ada keputusan UN tidak lagi sebagai penentu kelulusan, harapan UN tidak dianggap monster justru ditelan mentah-mentah. Sontak, kalimat itu awalnya bagi siswa bagai embun di padang pasir. Selanjutnya, efek kalimat penyejut itu sungguh menimbulkan efek domino. Semangat belajar anak-anak turun. Tak pelak, guru-guru yang kelimpungan. Hal ini mungkin juga akan terjadi pada mahasiswa. Yang penting kuliah, tandatangan daftar hadir (kalau perlu titip), bayar UKT, ikut ujian dan lulus. Sungguh enak sekali!

Membuat karya tulis dalam bentuk apapun jika diniati bukanlah hal yang sulit. Yang sulit adalah mengubah budaya. Yang anti pati membuat karya tulis biasanya golongan orang malas atau sok sibuk. Jika skripsi dianggap hal yang memberatkan dengan tahap-tahap penyusunannya, pengabdian masyarakat dan penelitian di laboratorium pun tidak jauh berbeda. Hanya mungkin keduanya seringkali dikerjakan secara berkelompok dan dilakukan dengan rasa gembira, suasana menyenangkan atau terkait dengan hal-hal baru, unik, dan canggih di ruang laboratorium. Dan sudah menjadi kebiasaan, ada saja anggota yang sekedar AI alias angka ikut. Kerja ogah, maunya dapat nilai sama. Bentuk kerja kelompok belum menunjukkan kemampuan pribadi seorang mahasiswa, baik itu prakarsa, kecerdasan, sosial atau kepemimpinan

Kampus sendiri punya kepentingan dengan karya tulis civitas akademikanya. Kualitas perguruan tinggi salah satunya ditentukan dari hasil karya tulis yang dihasilkan mahasiswanya. Sedikit banyaknya hasil penelitian yang dipublikasikan dalam bentuk jurnal-jurnal berskala nasional ataupun internasional, menunjukkan geliat akademik kampus. Sebagus dan sebanyak apapun karya di kampus jika tidak ditulis hanyalah omong kosong, nol besar. Hal itu akan terpupuk jika para mahasiswanya sejak dini terlatih budaya menulis yang dipungkasi dengan membuat skripsi. Kampus juga sudah membuka berbagai jalur program, baik diploma maupun strara. Setiap jalur punya konsekuensi untuk membuktikan produk lulusannya. Bagi lulusan S1, mutlak kiranya kemampuan menghasilkan suatu karya yang bisa dipertanggung jawabkan di depan penguji dalam bentuk skripsi. Kemampuan membaca keadaan, mengumpulkan, mengolah, menganalisa hingga menarik kesimpulan diperlukan bagi seorang calon pemimpin.

Sayang, produk ilmiah kampus Indonesia masih rendah. Kecanggihan teknologi tidak berbanding lurus dengan karya tulis ilmiah yang dipublikasikan. Berbagai jenis media sosial yang ditawarkan justru membuat orang kehilangan kreativitas menulis yang baik. Model tulisan yang muncul dalam dunia daring justru merusak unsur-unsur kebahasaan. Banyak yang hanya sekedar basa-basi, balas-membalas status ataupun sekedar curhat masal. Maka kloplah jika anak-anak sekarang miskin ide.  Ide lahir, banyak karena membaca. Membaca merupakan modal utama menulis. Sayangnya, banyak mahasiswa juga sudah terbiasa mengumpulkan tugas-tugas kuliah yang dikerjakan dengan tehnik copy paste. Tak pelak kecurangan ini menimbulkan mahasiswa ambil jalan pintas. Meski kesalahan ini juga bukan mutlak kesalahan mahasiswa, para dosen juga salah. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa salah satu kelemahan dosen yang paling tidak disukai mahasiswa adalah dosen terbang. Dosen terbang biasanya punya kesibukan seabrek, suka memberi tugas dan sulit ditemui. Dosen model ini kalau memberi tugas berjibun, dengan penilaian semau gue. Kalau dalam istilah Jawa, penilaiannya model kilanan. Yang banyak dan rapi mendapat nilai baik, tanpa sempat membaca dengan seksama tugas-tugasnya. Yang penting sudah ada nilai. Dampaknya, mahasiswa menjadi malas dan membuat asal-asalan. Begitu juga kala mengajukan judul penelitian dan pembimbingan. Para dosen terlalu gampang menolak judul dan sulit ditemui. Mereka menjadi semakin jaim dan sok repot, mengabaikan tugas utamanya mengajar dan membimbing mahasiswa. Mahasiswa pun dibuat putus asa.

Jalan pintas pun akhirnya ditempuh. Menggunakan hukum penawaran-permintaan, mencari biro penyedia jasa penyusunan skripsi. Tak perlu repot-repot. Kalau dulu masih sembunyi-sembunyi, sekarang biro penyusunan skripsi sudah pasang iklan dibantu calo. Bahkan ditengarai ada dosen yang doble standard, merangkap calo skripsi. Bagi mahasiswa yang judulnya ditolak, si oknum dosen mengarahkan untuk memberikan bimbingan plus. Tidak hanya membimbing, tetapi memberikan paket lengkap. Mahasiswa tinggal terima jadi, beres. Dan ini sangat masif. Untuk mengeliminir perlu langkah sinergis antara kampus, polisi dan masyarakat. Salah satu langkah dari kampus adalah mewajibkan mahasiswa yang membuat skripsi harus membawa file asli dan berkas, utamanya data asli. Dengan tehnik tertentu lewat perangkat IT, skripsi hasil jahitan mudah terdeteksi. Mereka juga tidak mempunyai data otentik, termasuk daftar pustaka berupa buku. Jika diharuskan membawa buku, banyak yang tidak bisa menunjukkan. Sedang bagi polisi, perlu melakukan razia, karena biro-biro tersebut telah membuat data abal-abal, menipu termasuk membajak hak intelektual orang yang dicopy paste. Pelaku perlu dijebloskan ke dalam penjara.

Di masa lalu, skripsi bukan hal wajib. Hanya mahasiswa yang berminat dan memenuhi syarat tertentu, misal IP, baru bisa membuat skripsi. Tujuannya waktu kira-kira untuk menjaring mahasiswa berkualitas yang siap menjadi dosen atau mereka yang kelak nantinya akan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.  Hal seperti itu juga bisa diterapkan di era sekarang. Nilai positif yang diambil adalah, untuk menjaring sejak dini kualitas lulusan S1. Kelak, saat penjaringan di bursa kerja, perekrut bisa memilah dan memilih calon pekerja yang sesuai dengan kebutuhannya.

Jadi jika menulis skripsi bagi mahasiswa S1 diposisikan sebagai opsi, hal itu perlu perlakuan khusus. Mahasiswa yang tidak menulis skripsi, tetap membuat karya tulis non skripsi. Bisa membuat essai, menulis laporan pengabdian/penelitian, membuat buku fiksi/nonfiksi ataupun menyusun proposal/program setelah lulus. Program tersebut dipresentasikan di depan sidang terbuka. Bagi yang memenuhi syarat diberi stimulus berupa modal kerja atau disalurkan ke bursa kerja dari instansi/perusahaan yang sudah bekerjasama dengan pihak kampus. Model seperti ini juga sebagai cara mencetak lulusan kampus sebagai calon entrepreneur daripada sekedar pencetak pengangguran bermodal stopmap berisi ijazah sarjana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar