Minggu, 14 Maret 2010

URGENSI PENDIDIKAN LIFE SKILL

Perdagangan bebas ASEAN-CINA sudah berlaku mulai 2010. Barang-barang impor membanjiri pasar tradisional. Tenaga asing menyerbu masuk, sementara PHK masal mengancam ditengah berjibunnya penganggguran. Baik penggangguran formal, non formal bahkan pengangguran intelektual. Seperti diberitakan Jawa Pos (21/1/2010), jumlah pengangguran terdidik masih banyak. Pemerintah dan dunia usaha kelabakan. Bagaimana menghadapi era kesejagadan yang kian bebas tanpa batas ini? Patut menjadi renungan, yang perlu diwasadai sekarang bukan lagi bangkitnya bahaya laten komunis/PKI, tetapi ancaman pengangguran intelektual dan serbuan produk dan tenaga dari manca negara. Apa yang harus diperbuat?
Salahkan strategi pembangunan kita, atau lebih tepatnya bagaimana sistem pendidikan kita? Apa keadaan sekarang tidak diantisipasi di masa lampau? Kalau menilik sedikit ke belakang, pendidikan kita memang terlalu banyak mengarahkan kepada penguasaan pengetahuan. Sedangkan ketrampilan atau sekarang lebih ngetrend dengan pembekalan kecakapan hidup masih kurang. Kita baru sadar, penutupan sekolah kejuruan (ST) beberapa tahun yang lampau merupakan langkah salah.
Mungkin itulah sebabnya, beberapa tahun terakhir pemerintah mendorong siswa masuk sekolah kejuruan. Dengan slogan SMK BISA, pemerintah menggelontorkan dana tidak sedikit untuk membangun SMK untuk memberi bekal hidup bagi lulusannya agar segera bisa bersaing di dunia usaha. Syukur-syukur mampu menciptakan usaha mandiri dan membuat lapangan kerja. Pemerintah gencar memacu meningkatkan daya saing SDM Indonesia melalui berbagai terobosan ditengah hasil berbagai survey yang menempatkan SDM Indonesia di urutan belakang.
Tak kurang pihak swasta, seperti Ir Ciputra, turut menyumbangkan pikiran dan membuat program khusus guna merangsang tumbuhnya entrepreneur-entrepreneur muda. Sekaligus kritikan pihak dunia usaha terhadap lulusan sekolah yang belum siap kerja apalagi mampu menjadi wirausaha. Pemerintah merasa perlu membekali anak didik sejak dini dengan pendidikan life skill.
Prinsipnya sederhana saja, bahwa dengan pendidikan life skill, anak mempunyai bekal kecakapan hidup untuk mengarungi kehidupan nyata selama pendidikan ataupun setelah lulus sekolah. Dalam pendidikan life skill ini peserta didik belajar mengembangkan kemampuan belajar, menghilangkan pola pikir dan kebiasaan yang salah, menggali potensi diri, menumbuhkan keberanian menghadapi permasalahan kehidupan serta memecahkan segala problema kehidupan secara kreatif dan inovatif. Minimal setelah lulus sekolah para lulusan bisa mandiri, mampu bersaing di bursa kerja, syukur menciptakan lapangan kerja.
Memang sebagian orang cenderung mengatakan, bahwa kecakapan hidup itu berupa kemampuan untuk survive dalam kehidupan nyata yang ditunjukkan dengan tingkat kecerdasan dan suatu keahlian kerja. Padahal kecakapan hidup tidak itu saja. Untuk mampu survive siswa perlu memilki empat kecakapan hidup. Yaitu kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan kecakalan vokasional.
Kecakapan personal mencakup kecakapan berpikir rasional dan mengenal diri sendiri. Dengan kecakapan ini anak mampu mengenali potensi diri dan memecahkan masalah secara kreatif. Dengan kecakapan sosial anak belajar menjalin komunikasi yang harmonis dan hidup bekerjasama untuk mencapai tujuan. Kecakapan akademik merupakan kemampuan berfikir rasional yang lebih bersifat keilmuan. Dengan kecakapan ini, anak mampu melakukan identifikasi, mencari hubungan, melakukan hipotesis, merancang, melaksanakan dan mengevaluasi tindakan. Sedangkan kecakapan vokasional lebih mengarah kepada keahlian khusus pada bidang tertentu yang sering ditunjukkan dengan ketrampilan.
Kompleksnya kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik bukan menjadi alasan untuk mengubah kurikulum. Karena salah salah satu prinsip implementasi pendidikan life skill tidak mengubah kurikulum. Yang perlu dilakukan adalah mensiasati kurikulum agar nilai-nilai pendidikan life skill masuk didalamnya.
Untuk itu sekolah bersama-sama guru perlu melakukan kajian dan analisis. Mulai SK, KD, pemetaan KD, pengembangan silabus dan pembuatan RPP yang dihubungkan dengan potensi lingkungan, karakteristik, kebutuhan dan kemampuan anak, serta rencana kecakapan hidup yang akan dikembangkan. Dalam pembelajaran guru dapat menyelipkan pendidikan life skill melalui proses pembelajaran. Membuat indikator dan tujuan pembelajaran beserta kegiatan yang memuat nilai-nilai kecakapan hidup.
Tidak ada alasan untuk tidak mengintegrasikan pendidikan kecakapan hidup dalam setiap mata pelajaran. Dari empat jenis kecakapan hidup, pasti ada satu yang bisa diimplementasikan dalam pembelajaran. Alasan guru yang kadang bingung untuk apa dan seperti apa hasil pendidikan life skill harus segera ditepis. Apalagi jika pendidikan life skill harus diwujudkan dalam bentuk angka-angka. Pendidikan life skill tidak harus menelurkan angka. Pencapaian life skill bukanlah proses instan yang selalau bisa langsung diamati dan dinilai. Pendidikan lef skill merupakan investasi angka panjang dan produknya sebagai outcome (dampak pengiring) dalam proses pembelajaran.
Pola pembelajarannya pun bisa dimplementasikan secara intra maupun ekstra kurikuler. Dalam ekstra kurikuler sebagai pengembangan diri yang banyak ditentukan dengan minat dan bakat siswa. Sedang pada intra kurikuler, guru perlu menyusun langkah-langkah pembelajaran yang sistematis. Setelah analisa seperti dikemukakan di atas, setiap guru mata pelajaran khususnya mulai memilih dan memilah SK, KD, indikator maupun kegiatan pembelajaran yang bernuansa pendidikan life skill. Implementasinya tidak perlu memaksakan diri. Tidak harus pendidikan life skill memuat keempat kecakapan hidup. Minimal ada dan diusahakan diselipkan dalam setiap pembelajaran. Tentu saja, dalam pembelajaran disamping menampilkan hard skill juga menyelipkan soft skill.
Dan yang tidak boleh dilupakan, dalam pendidikan kecakapan hidup perlu melibatkan masyarakat. Pihak sekolah atau guru mengajak orang-orang yang punya keahlian khusus yang disesuaikan dengan mata pelajaran untuk memberikan ilmunya di sekolah. Ataupun mengajak anak ke tempat yang sesuai dengan kecakapan yang sudah diprogramkan agar anak merasakan langsung bagaimana mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata. Apalagi bagi sekolah yang memprogramkan kecakapan vokasional, hal ini akan semakin memudahkan siswa mengekspresikan kecakapannya.
Dengan demikian sekolah bukan lagi sebagai tempat transfer pengetahuan saja. Tetapi sekolah menjadi alat penempa mental dan moral pemberani untuk menghadapi persaingan global yang ada di depan mata. Kalau mutu lulusan siap bersaing, dunia pendidikan pun bisa berteriak kepada dunia usaha, Kejarlah daku, kau kutangkap. Sekolah jangan lagi pencipta tenaga kelas pekerja. Saatnya sekolah menghasilkan para BOSS.

Dimuat di majalah media jatim edisi maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar