Senin, 06 Juni 2011

KELULUSAN UN 2011, TANTANGAN DAN DILEMA GURU DAN SEKOLAH

“MENKONTROL BUKAN MENGKATROL”

Hajatan tahunan dunia pendidikan Indonesia kembali digelar, bertajuk Ujian Nasional. (UN). Sebagaimana orang punya hajat, pernak pernik pendukung disiapkan. Panitia, menu hidangan, susunan acara hingga seksi keamanan disiapkan. Bak menyambut tamu VVIP, prosedur operasional standart (POS) ditata apik. Secara hitam putih UN dijamin aman dari gangguan apapun. Termasuk dari teroris. Siapa tahu para teroris yang kini berulah menyebar paket bom buku juga akan memasang bom pada paket ujian nasional. Semoga saja tidak ada bom dalam paket UN. Yang ada 5 paket soal berbeda kode
Namun sayang, lagi-lagi pemerintah lamban dalam menyiapkan perangkat peraturan. Jika pada 2009/2010 aturan terkait UN diteken Oktober 2009 , tahun ini baru diteken di penghujung 2010, 31 Desember 2010. Para siswa, guru dan pelaksana lapangan level bawah menunggu ada kebijakan yang menguntungkan siswa. Dan begitu Permendiknas RI nomor 45 dan 46 terbit, banyak yang bersorak sorai. Formula kelulusan siswa bagaikan air hujan di musim kemarau. Begitu perkiraan sementara waktu itu.
Namun apa yang terjadi berikutnya. Memperhatikan permen dan melihat rapor siswa, formula ini justru menggoda iman. Para guru, kepala sekolah harus menghela nafas panjang. Formula kelulusan itu sedap dipandang namun tidak enak dimakan. Apa sebab? Jika nilai anak dimasukkan, membuat sekolah kuatir. Bukan akan menolong kelulusan, tetapi justru bisa membunuh nasib anak. Mengapa demikian?
Sesuai KTSP, setiap sekolah punya kebijakan mengembangkan kurikulum termasuk perangkat evaluasi. Beracuan belajar tuntas yang didasarkan pencapaian nilai terhadap KKM, kebanyakan KKM untuk mata ujian nasional seperti Matematika, Bahasa Inggris dan IPA nilainya rendah. Tentunnya ini sudah didasarkan analisis unsur KKM yaitu kompleksitas, daya dukung dan intake siswa.
Yaa, rapor dan formula kelulusan tidak lahir bersamaan. Rapor membawa misi tuntas belajar, formula kelulusan membawa misi sukses wajar. Sama-sama bagus, namun berbeda perlakuan. Nilai rapor diperoleh melalui jalan terjal. Mulai penentuan KKM, pembelajaran, hinggá evaluasi beserta remedinya. Bahkan untuk sekolah yang merasa peserta didiknya bermodal kemampuan pas-pasaan, KKM-nya pun dibuat rendah. Sesuai kondisi riil lapangan. Jadi mudah dijumpai nilai anak mepet dengan KKM. Itupun sudah beberapa kali remedi. Yang penting nilai anak sudah melampau KKM. Beres! Begitu pemikiran para guru waktu itu
Sementara formula UN, tinggal menunggu masukan data. Nah disinilah, masalahnya. Berdasar hitungan dan simulasi, banyak anak yang jika nilainya digabung belum membantu kelulusan siswa. Formula kelulusan hanyalah benda mati yang tidak bisa menilai kompetensi anak yang dinyatakan bukan dalam bentuk angka. Artinya sebaik apappun kompetensi anak di luar penilaian dalam rapor atau UN, tidak akan membantu kelulusan. Ini salah satu kelemahan formula kelulusan itu.
Lantas apa yang akan dilakukan dalam waktu sesingkat ini? Sekolah harus kerja ekstra. Memberi pelajaran tambahan, mengadakan try out berulang kali, mempersiapkan mental spiritual dsb. Ibaratnya, siswa bagaikan bahan baku. Diolah sedemikian rupa agar siap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara keinginan Kemendiknas melaksanakan UN secara jujur tetap menjadi jargon utama. Jujur dan berprestasi. Sebuah semangat membangun kader bangsa berkarakter mulia dan handal. Namun berbekal semangat tanpa modal belum cukup. Pembaca tentu pernah mendengar pembukuan ganda bukan? Kalau rapor ganda, adakah? Kabar burung pun tersiar. Karena aturan harus dijalankan, dan nilai yang terpampang di depan mata menggelisahkan, serta kemungkinan mengatur strategi mengerjai unas sulit dilakukan, ada upaya membuat rapor ganda. Setidaknya ada penggantian nilai rapor.
Kegelisahan ini ternyata ditangkap pihak lain. Tidak ingin kecurangan UN pindah motif, ,beberapa pihak mengusulkan penarikan rapor ke tingkat atas. Dikumpulkan di dinas pendidikan atau di tempat tertentu. Bukan hanya dinas pendidikan yang urun rembug, dewan pendidikan dan para pemerhati pendidikan juga usul sama. Berbagai tanggapaun muncul, ada yang setuju ada yang tidak. Ada yang ketakutan dan ada yang siap. Begitu diwartakan mass media beberapa waktu lalu. Mengapa?
Langkah pengamanan dokumen penilaian mulai rapor, legger atau buku induk sebenarnya langkah efektif mencegah manipulasi data. Termasuk proses ujian yang menjadi kewenangan sekolah. Pengawasan, koreksi silang penuh ataupun koreksi dengan komputer juga dapat menjadi antisipasi kecurangan sejak dini. Namun, semua kembali kepada kemauan dan keberanian. Kebesaran jiwa guru, kepala sekolah, kepala dinas sampai kepala daerah melaksanakan dan menerima hasil UN adalah kunci UN jujur dan berprestasi. Apa yang terjadi selama ini adalah buah evaluasi. Hanya saja, apakah evaluasi itu berdasar data yang valid? Budaya Asal Bapak Senang (ABS) dan cari posisi aman akhirnya menjadi bumerang. Dan yang lebih fatal justru kesalahan ini diamini. Diajak masuk jurang kok mau, gitu looch.
Maka tidak heran jika menjelang Ujian Nasional 2010/2011 tidak lagi terdengar penekenan pakta kejujuran, ikrar ataupun apel siap melaksanakan UN dengan jujur. Siap lulus dan siap gagal UN bersemboyankan UN Fair Paly. Nampaknya pelaksaan UN 5 kode soal berbeda dianggap cukup mewakili kejujuran UN. Mengapa tidak sekalian 20 kode beda? Toh dengan teknologi hal ini tidak lagi menjadi kendala. Sosialisasi UN kepada perwakilan dinas pendidikan Desember 2010 oleh Kemendiknas juga dianggap sudah mampu meredam pemerintah daerah agar tidak menarget atau memberi beban berat terhadap hasil UN. Beban yang malah menggoda berbuat curang. Kenyataannya?
Oleh karena itu sekolah sebagai garda terdepa pencetak kader bangsa mempunyai peran penting untuk menyukseskan UN dalam arti sebenarnya. Sukses persiapan, pelaksanaan dan hasil. Tidak ada catatan cacat. Kesiapan semua pihak dalam rangkaian UN akan menghasilkan buah berkualitas. Bukan buah semu. Kesuksesan semu hanya akan menjadi racun yang akan menjerumuskan. Tidak perlu melakukan hal-hal yang justru akan merugikan masa depan bangsa secara makro.
Okelah, kebijakan UN tahun ini menjawab sebagian harapan masyarakat. Namun Formula kelulusan bukan harga mati. Sambil mencoba formula tersebut dan melihat proses hingga hasil UN, ke depan model UN tetap harus dievaluasi secara kritis dan jujur. UN 2011 ini harus menjadi momentum terbaik untuk evaluasi dan instrospeksi dunia pendidikan. Wajar dalam sebuah perjuangan ada kegagalan. Kegagalan yang dapat dijadikan guru terbaik bagi siapapun. Tidak perlu mengkatrol nasib anak. Biarlah anak berjuang menentukan nasibnya sendiri dan bangga dengan kemampuannya. Guru dan sekolah perlu mengkontrol perkembangan belajar anak. Memberi bekal ilmu dan pesan moral yang benar. UN bukan ritual yang harus ditakuti. Sehingga menjalani UN dengan jujur dan benar bukan lagi sekedar jargon atau mimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar