Sabtu, 07 Juni 2014

PKG dan PKB diberlakukan, Guru Ra Popo



            “Siapa bilang tidak naik pangkat dalam jangka waktu lama tunjangan fungsionalnya dihentikan? Kok, sampai sekarang belum ada berita. Aman-aman saja”. “Aku tidak naik pangkat, aku ra popo. Yang penting tiap bulan tetap gajian.” “Kalau ada kegiatan MGMP, worksop atau diklat, biar yang lain saja. Saya tidak usah dikirim.” Kalimat seperti ini pasti sering pembaca dengar. Mengapa? Karena berdasar pengamatan, kenaikan pangkat bukan hal sulit. Kepala sekolah atau staff TU pun sering uring-uringan, agar guru yang waktunya naik pangkat segera menyiapkan berkas kenaikan. Sementara yang bersangkutan tenang-tenang saja. Akhirnya memunculkan kalimat, “Sudah, saya nurut saja. Yang penting beres”. Apalagi kalau ada pemandu kenaikan pangkat, dengan  tag line “Wani piro?”. Urusan beres!
            Sejak era kenaikan pangkat dengan menggunakan angka kredit, guru di-iri pegawai lain yang untuk naik pangkat otomatis memakan waktu sekitar 4 tahun. Sementara kenaikan pangkat para guru seperti peserta maraton. Baru dua/dua setengah tahun saja, sudah banyak yang mengajukan kenaikan pangkat lagi. Sampai golongan IVA,  naik pangkat bak berkendara di jalan tol. Baru pada waktu mengajukan IVB, para guru merasa ada beban terkait pengembangan diri berupa KTI. Makanya begitu ada biro jasa yang sanggup meng-gol-kan IVB, secara bergerilya para pemburu IVB tawar menawar teken kontrak! Ceritapun bergulir, bagi yang beruntung IVB nya turun, sedang yang nasibnya apes terpaksa gigit  jari.
            Nah, munculnya PermenPAN dan  RB no 16 tahun 2009 ini, merupakan salah upaya untuk mendudukkan kepangkatan seorang guru dalam arti sebenarnya. Pangkat bukan untuk gagah-gagahan atau menambah pundi-pundi rutin setiap bulan. Pangkat adalah sebuah bentuk penghargaan atas prestasi kerja yang harus dipertanggungjawabkan. Baik secara profesional atau kepada Tuhan.
            Sekilas nampak, bahwa lahirnya peraturan ini seperti menghambat kenaikan pangkat guru. Hal ini bisa dilihat dari besaran angka kredit pada poin-poin penilaian. Secara umum lebih kecil bila dibandingkan dengan permen lama tahun 1993. Kalau dalam aturan lama, asal akumulasi nilai memenuhi (plus KTI bagi IVB ke atas) bisa langsung mengajukan kenaikan pangkat. Pola baru tidak! Untuk unsur utama, setiap bagian mulai pelaksanaan pembelajaran, pengembangan diri dan publikasi ilmiah harus ada nilainya. Itupun masih akan dipengaruhi oleh nilai PKGnya. Padahal, hanya untuk PKG saja jika dilaksanakan 100% sesuai aturan, kenaikan pangkat terasa berat. Kalau sekolah memberikan pilihan, mana yang lebih penting, melengkapi administrasi atau melaksanakan pembelajaran yang baik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tentunya pilihan kedualah yang diambil. Akhirnya guru ataupun pihak sekolah bisa memilah dan memilih, unsur utama mana yang menjadi fokus saat penilaian kinerja guru. Hal ini juga berdasar fakta, bahwa jlimetnya aturan serta banyaknya persyaratan administrasi, bisa kontraproduktif terhadap keberhasilan pembelajaran. Para guru pun mungkin bersepakat, “Untuk apa”? Toh pada akhirnya guru harus memberi penilaian baik kepada siswa. Masa siswa dipermudah, sedangkan gurunya dipersulit.
            Namun demikian PKG dan PKB tetap harus dilaksanakan seoptimal mungkin. Sosialisasi dan pemahaman kepada guru menjadi modal dasar. Meski di dalam PKG sudah ada indikator untuk menilai 14 kompetensi bagi guru kelas / guru mapel dan 17 kompetensi bagi guru BK, toh tetap ada lubang-lubang dan kebijakan yang bisa diambil untuk mengefektifkan kerja tim penilai. Hanya saja, demi keadilan sekolah harus  membuat aturan main berupa indikator pendamping agar dalam penilaian adil.
            Memperhatikan hal ini, terkait PKG, kedudukan kepala sekolah memegang peran sentral. Kasek bisa menjadi raja kecil. Tetapi, jika tidak dikontrol PKG bisa menjadi bumerang. Karena PKG tidak hanya sekedar laporan dalam bentuk angka, tetapi juga berdampak dalam penilaian angka kredit. Termasuk juga dalam penentua penilaian DP3. Karena untuk memperoleh nilai DP3, para guru harus mengisi SKP (Sasaran Kerja Pegawai) yang salah satu indikatornya juga ada dalam indikator PKG. Sehingga jika para guru tidak puas dengan hasil PKG-nya dan membandingkan dengan sekolah lain, akan menimbulkan kecemburuan sosial. Untuk itu dinas pendidikan perlu mengkontrol pelaksanaan PKG. Melalui pengawas sekolah, dinas pendidikan melakukan uji petik dan menstandarisasi PKG di tingkat kabupaten. Dinas pendidikan juga perlu mengakomodasi kegalaun guru, khususnya dalam publikasi ilmiah dengan menerbitkan jurnal ilmiah di tingkat kabupaten. Jika jurnal ilmiah semakin banyak, guru lebih semangat menulis.
            Jadi PKG jangan dianggap sesuatu yang merepotkan. Asal guru sudah melaksanakan tupoksinya, PKG dengan sendirinya sudah digenggaman. Guru perlu menambah kreatifitas dan inovasinya, mendisiplinkan diri dan melakukan jejaring. Memang, bagi guru yang terbiasa nyantai, PKG seperti sebuah beban berat. Sehingga begitu penilaian tiba, guru terpaksa lembur menyiapkan diri dan secara otomatis guru tersebut menomorduakan kegiatan pembelajaran di kelas. Namun jika guru sudah menjadi panggilan hati, apapun bentuk tugas bukan lagi masalah. PKG tidak mengganggu PBM.
            Seperti diungkapkan penulis di atas, bahwa PKG dan PKB akan menempatkan kepangkatan guru sebagai bentuk penghargaan dan uji keprofesionalan guru. Bagi guru yang mendapat nilai baik, serta mempunyai nilai untuk  setiap komponen yang disyaratkan, dalam empat tahun guru sudah bisa mengajukan kenaikan pangkat. Yaa, mirip kenaikan pangkat otomatis empat tahunan. Tetapi, lagi-lagi para guru pasti merasa terhambat dan berat melaksanakan PKB dan PKG. Apalagi kalau tidak terkait dengan pengembangan diri dan publikasi ilmiah. Karena mulai kenaikan ke IIIC, guru sudah harus membuat KTI. Jika pada era sebelumnya guru bisa menjadi peneliti kagetan, dengan menghasilkan 3-4 KTI dalam waktu singkat untuk maju IVB, hal ini tidak bisa lagi. Para guru harus menyiapkan KTI-nya setiap tahun, karena penilaian PKB juga dilakukan setiap tahun untuk menghasilkan perolehan angka kredit tahunan. Hal ini juga linear dengan PKG dan SKP.  Jika tidak siap sejak dini, guru sendirilah yang menghambat kariernya sendiri, bukan PKG atau PKB.
            Mungkin, hal inilah yang membuat pemberlakuan PKG dan PKB sebagai langkah awal kenaikan pangkat beberapa kali waktu pelaksanaannya ditunda. Selain karena aturan yang dibuat beberapa kali mengalami revisi, keberatan guru di lapangan menjadi pertimbangan. Dengan  belum dilaksanakan secara optimal, PKB dan PKG belum efektif mendongkrak prestasi kerja guru.
            Jika PKG dilakanakan sesuai aturan, guru akan meningkat profesionalismenya. Otomatis pretasi belajar siswa meningkat. Guru semakin rajin, bisa mengurangi guru-guru nakal. Bagi pemerintah, PKG bisa digunakan sebagai pemetaan guru. Dari sisi anggaran, PKG juga bisa menghemat belanja rutin pegawai, karena semakin terkontrolnya kenaikan gaji.
            Yang jelas, dengan PKG, guru semakin tertib administrasinya, kehadiran di kelas baik dan tergerak untuk mau mulai belajar meneliti dan menulis.  PKG merupakan pelecut tumbuhnya kesadaran guru untuk meningkatkan profesionalitasnya. Saatnya guru menjemput bola, dan memainkan bolanya untuk mencetak kemenangan bagi diri guru sendiri. PKG dan PKB masalah buat guru? Siapa takut? PKG dan PKB diberlakukan, guru yaa...  ra popo.

Tulisan ini dimuat di majalah Media edisi Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar