Sabtu, 05 September 2015

Membuat bank data ijazah on-line



Kalau bisa cepat mengapa harus lama? Keluar duit lebih banyak bukan masalah,yang penting urusan beres. Ada uang  ada barang. Hukum permintaan penawaran berlaku. Begitulah fenomena sekarang. Termasuk urusan memperoleh ijazah. Pembaca pasti sudah terbiasa melihat pemandangan saat pemilu legislatif atau pilkada.Para calon memapang poster diri beserta nama yang dilengkapi deretan gelar kesarjanaan. Sepertinya gelar dianggap magnet untuk menunjukkan keintelektual diri sang calon. Tak peduli bagaimana memperolehnya. Termasuk juga para birokrat. Tidak terdengar kabar kuliahnya, tiba-tiba sudah mendapat promosi dengan gelar baru sebagai prestise demi jabatan eselonnya. Ya, masyarakat terbius faham keningratan. Gelar bisa mengangkat derajat dan martabat. Dengan gelar seseorang merasa dirinya sudah mumpuni dan layak berada di atas yang lain. Termasuk di kalangan pemerintahan. Pengakuan angka kredit  dan perjenjangan eselon,membuat seeorang yang ambisius berusaha meraih ijazah yang kadang dengan cara tidak sah.
Jadi wajar saja, momentum seperti ini merangsang kreatifitas seseorang/lembaga menyediakan jasa penyediaan jasa ijazah ilegal. Pembaca tentu masih ingat saat sertifikasi guru lewat jalur portofolio dibuka. Banyak event organiner ramai-ramai mengadakan diklat/workshop di daerah-daerah. Bertajuk seminar/diklat nasional, cukup membayar puluhan ribu, peserta bisa pulang membawa 2 atau 3 sertifikat yang dalam pelaksanaanya hanya beberapa jam. Adakah tindakan pencegahan pada waktu itu. Tidak, ada. Malahan pada waktu itu panitia sudah mendapat rekomendasi dari dinas terkait. Termasuk juga adanya kuliah kelas jauh, atau kuliah singkat. Kuliah cepat, bayar murah, ijazah pun keluar dengan mudah dengan indeks prestasi waah. Semua aman-aman saja. Tidak adanya pengawasan dan sanksi bagi penyedia jasa penyedia layanan ijazah ilegal inilah yang menjadi sebab menjamurnya praktek kotor ini.
Apalagi di negeri ini,jika ada skandal hukum sepertinya sulit dan lama terkuak. Bagai tontonan sinetron.Dibuat panjang,meski sebenarnya pelaku utamanya sudah diketahui. Ujung-ujung, pelaku utama diberitakan meninggal atau melarikan diri dan menjadi DPO. Meski setelah sekian tahun orangnya muncul lagi dan bebas melanggang karena perkaranya sudah di SP3. Apa sebab, kasak-kusuk kalau masalahnya dibongkar ada orang-orang penting ketahuan juga masuk daftar. Jangankan untuk masalah ijazah ilegal, kasus prostitusi online yang melibatkan artis AA hingga terbunuhnya Deudeh pun sampai-sampai Wapres Jusuf Kalla wanti-wanti untuk tidak mempublikasikan pemakai jasanya. Kenapa? Pembaca bisa menerka sendiri. Jangan- jangan ada orang penting yang terlibat. Masalah pun cepat menguap dari pemberitaan publik. Pelaku merasa aman, dan secara diam-diam terus menjalankan aksinya.
Jadi siapa yang salah? Karena pengeluaran ijazah oleh suatu lembaga pendidikan berada di bawah naungan kementerian pendidikan, tentu saja kementerian pendidikan dan kebudayaan juga bersalah dalam kasus ini. Masalah munculkarena lemahnya pengawasan.Kementerian pendidikan dari pusat hingga struktur paling bawah, mestinya bisa mendeteksi dini lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan yang mengeluarkan sertifikat. Baik sebagai lembaga kursus atau setingkat sekolah atau kampus yang bisa mengeluarkan ijazah. Pihak penegak hukum pun juga bisa salah. Bukankah mereka punya badan penyelidik? Jika para intel jeli, penyalahgunaan dan praktek ijazah ilegal akan mudah dideteksi. Dan yang tidak kalah penting,masyarakat juga punya andil salah. Baik sebagai pengguna ataupun pengawas non formal.Sudah tahu ilegal, mengapa tetap memakai dan membiarkan? Lantas kalau semua salah, akankah semua dihukum? Yang pasti, segera menyadari kesalahan itu lebih baik dan segera berbenah.
Ijazah sebagai dokumen vital seharusnya tidak boleh dikeluarkan sebarang. Harus ada lembaga yang menstandarisasinya. Pembaca bisa merasakan tampilan ijazah SD/SMP/SMA dengan ijazah sarjana, mana yang lebih keren dan aman dari duplikasi? Dari sisi tampilannya saja ijazah sarjana kalah dengan piagam penghargaan atau sertifikat diklat. Belum tingkat keamanan orisinialitasnya. Untuk itu pengeluaran ijazah perlu diperketat. Mulai SD hingga perguruan tinggi, ijazah hanya dikeluarkan oleh lembaga terstandar di bawah lingkungan Kemendikbud. Lembaga tingkat perguruan tinggi tidak diperkenankan menerbitkan sendiri ijazahnya. Untuk mengecek keabsahan alumnus dan lembaga pelaksana pendidikan, dibuat bank data alumnus. Bank data alumnus ini bisa diakses secara on line.. Di dalamnya ada data diri seseorang  secara lengkap yang terkoneksi dengan lembaga asal ijazahnya. Masing-masing lembaga pendidikan juga wajib melengkapi profil danidentitas peserta didik/mahasiswa beserta alumnusnya.Sehingga siapapun dapat mengecek status lembaga dan ijazah seseorang.
Di jaman serba canggih, tidaklah sulit membedakan ijazah asli dan palsu. Sebagaimana para pelanggar hukum juga bisa membuatnya. Jika nantinya ijazah hanya dibuat/dikeluarkan oleh badan khusus, pastinya ada ciri khas sendiri yang menjadi rahasia perusahaan agar ijazah asli sulit dipalsukan dan mudah untuk membedakan dengan asli. Misalnya menambah gambar air atau pita identitas  seperti pada uang kertas,  memberi hologram ataupun barkode. Karena selama ini, sebagai orang awam sulit membedakan ijazah asli ataupun palsu. Orang baru bisa mengecek dari bentuk tampilan misalnya berhologram, no registrasi (biasanya menunjukkan tahun masuk) dan tanggal lulus, nama pimpinan beserta tandangan dan stempel dan tentunya nama lembaga yang mengeluarkan, kredibel atau tidak.



Tulisan ini dimuat dimajalah Media  Prop Jatim edisi September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar