Minggu, 06 Juli 2014

Generasi Emas : Mensinergikan Usia Produktif dan Aksi Produktif

            Tahun 2045 adalah era Skynet, komputer pintar penguasa bumi mulai tahun 2029. Begitu sineas Hollywood menggambarkan masa depan dalam film Terminator-nya Arnold Schwarzenegger. Kalau imajinasi itu terjadi, manusia akan bersaing dengan robot-robot pintar. Manusia hanya mahluk kelas dua yang harus main petak umpet menyelamatkan diri dari aksi pemusnahan masal. Kepada John Connor anak Sarah Connor-lah tumpuan harapan manusia untuk menyelamatkan bumi dari ancaman para terminator. Apakah itu akan terwujud? Kalau menilik sejarah Amerika tentang mimpi-mimpi mereka, kok banyak juga yang akhirnya terwujud. Pergi ke bulan sudah, ke planet mars bisa, membuat kloning jadi dsb. Lantas bagaimana dengan generasi emas 2045 nanti? Bukankah tahun itu tahun era terminator? Jangan-jangan generasi emas yang disiapkan sekarang sudah berhadapan dengan robot-robot dari negeri antah berantah sebelum perayaan tahun emas itu datang. Wah-wah, bisa gawat ini.
            Apa berarti kita harus mengubah strategi, sebelum didahului para terminator. Nah ... ini yang perlu dipikirkan bersama, tetapi jangan lama-lama. Apalagi menunggu presiden baru. Beda visi misi, bisa batal rencana besar yang sudah ada cetak birunya ini. Okelah, terlepas hasil pilpres dan imajinasi dinasti robot, tersedianya usia produktif memang merupakan modal besar bagi suatu bangsa. Generasi emas yang terdiri dari manusia-manusia handal, unggul dan berakhlaqul karimah hasil olah pikir, olah raga, olah rasa dan polesan tangan dingin guru.
            Seiring berjalannya waktu, cikal bakal generasi emas ini dapat bermertamorfosis bahkan berevolusi menjadi sesuatu. Bisa hebat bak malaikat, berbahaya seperti monster bahkan menakutkan seperti setan. Tergantung dari niat, usaha dan hati  urani.   Seperti kata Wak Haji Rhoma Irama, mereka punya darah muda. Tinggal mengarahkan aliran darahnya, agar tidak merasa gagah/sombong, mau menang sendiri dan tidak peduli. Logika sederhanya, kaum muda pasti mempunyai energi ekstra, pemikiran segar, energik, suka tantangan dan pantang menyerah. Dengan bekal itu, generasi emas sekarang bisa menjadi mesiu bahkan  mesin penggapai cita-cita. Sehingga, 30 tahun mendatang sekitar 90 juta manusia laksana pasukan siap perang. Pasukan puber kedua. Tinggal menyiapkan sesuatu seperti apa yang layak diumpankan. Semakin menipisnya cadangan kebutuhan hidup manusia, dengan penghuni bumi yang mungkin ketika itu sudah memenuhi hingga ujung bumi, membutuhkan kecepatan, kecanggihan dan ketepatan langkah. Tantangan masa depan yang kian kompetitif butuh kejelian membaca pasar. Siapa cepat dia dapat, siapa lengah pasti kalah. Sesuatu yang besar/banyak bisa menjadi keuntungan bila kuantitas itu dibarengi kualitas. Tidak ada gunanya, bila kuantitas hanya sekumpulan manusia tanpa daya saing.
            Kita bisa belajar dari diri kita sekarang yang 30 tahun lalu disiapkan pendahulu kita. Lewat Repelita era orde baru, generasi muda kala itu disiapkan untuk “tinggal landas”. Apakah cita-cita itu terwujud? Tanpa menampik keberhasilan pembangunan di berbagai bidang, semangat tinggal lindas yang senafas dengan falsafah  berdikari-nya Bung Karno belum menuai hasil seperti yang diharapkan. Termasuk semangat reformasi yang diusung para mahasiswa 1998. Roh-nya menggantung di awang-awang seperti nasib awan yang tergantung arah angin berhembus. Hujannya sulit ditebak, terlalu banyak petir, air hujan tak kunjung turun.
            Percaya diri itu penting, tetapi tahu diri itu perlu. Dari sisi jumlah kita optimis, sedang dari sisi kualitas masih banyak yang harus dibenahi. Hal ini klop dengan jargon-jargon kala kampanye pileg dan pilpres. Menukil pernyataan para petinggi parpol, sebagai negeri agraris, kebutuhan pokok masyarakat mana yang tidak menggantungkan diri dari impor? Siapa yang paling banyak menikmati sumber daya alam Indonesia? Siapa yang menangguk keuntungan dari subsidi dsb. Perlu kesiapan SDM mumpuni, agar Indonesia benar-benar menjadi macan Asia, bangsa hebat dengan kualitas manusia sekemilau emas.
            Meski, bicara generasi emas sebenarnya tidak melulu identik dengan usia emas. Banyak bukti menunjukkan, mereka-mereka yang sudah melewati usia emas justru lebih produktif dan menorehkan tinta emas dalam kehidupannya. Lantas apa sebabnya? Dari kisah hidup mereka-mereka yang sukses, modalnya adalah kerja keras. Kerja, kerja dan kerja! Begitu moto Pak Dahlan Iskan memberi contoh kiat suksesnya. Kerja tidak sembarang kerja. Keuletan, kejujuran, disiplin, semangat, kerjasama dsb menjadi rangkaian pernak-pernik etos kerja,  menggabungkan intelektual dan attitude. Unsur-unsur ini dapat dilaksanakan jika dibarengi kemauan politik dan managerial yang baik di bawah naungan pemimpin yang amanah dan visioner serta tersedianya infrastruktur yang memadai. Disinilah peran pendidikan sebagai ujung tombak mengantarkan anak ke pintu gerbang kemajuan bangsa. Pendidikan merupakan jembatan menuju Indonesia Emas. Bukan sekedar lips servis atau pencitraan.
            Dan kita adalah insan pendidikan. Pendidikan adalah kita. Pendidikan harus bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Terobosan dan intervensi pemerintah yang sudah dicanangkan perlu dipertajam. Jika pemerintah sering mengabarkan kemampuan anak didik kita masih di bawah standar PISA, dan ingin mensejajarkan pendidikan seperti pendidikan di Finlandia atau setidaknya dengan Singapura, yaa mestinya kebijakan harus seimbang. Bukan sistemnya saja, tetapi juga langsung bersentuhan dengan operasional peserta didik. Biaya pendidikan harus terjangkau, syukur gratis tis... tis... tis! Bukan sekedar dalam rangka penyuksesan wajib belajar.
            Karena, masyarakat baru saja disuguhi contoh mahalnya biaya kuliah dengan pemberlakuan uang kuliah tunggal. Jika Kemendikbud menolak anggapan kuliah hanya untuk orang kaya dengan dalih banyak anak dari keluarga kurang mampu terjaring lewat Bidik Misi, bagaimana dengan masyarakat kelas menengah. Miskin tidak, kaya bukan. Seperti ditulis dalam Jati Diri Jawa Pos edisi 4 Juni 2014, masyarakat kelas menengah nanggung, jika menginginkan kuliah di kedokteran misalnya ada yang mematok harga mahal  hingga 500 juta sebagai mahar kuliah meski intelektual anak tinggi. Jurusan lain yang ke depan mempunyai prospek lebih menjanijkan dalam persaingan global, UKT-nya terasa mencekik. Guru atau pejabat berpenghasilan Rp10 juta saja belum tentu mampu. Sedang untuk tingkat dasar dan menengah, dana BOS belum cukup menopang kegiatan sekolah secara nyata dengan aturan-aturan yang terlalu ketat. Manajemen berbasis sekolah terpasung. Tidak taat, sekolah harus siap tombok jika suatu saat kena semprit BPKP. Meski kegiatan tersebut benar adanya dan untuk peningkatan mutu siswa. Mau menarik iuran kepada orang tua, dianggap melanggar aturan. Repot deh!!
            Maka, masyarakat dan orang tua perlu ditumbuhkembangkan kesadaran dan kepeduliannya dalam membentuk generasi emas. Sekolah bukanlah penitipan anak. Mendidik anak adalah invenstasi dunia akhirat. Sebagian besar waktu anak berada di luar sekolah. Hubungan harmonis dan perhatian cukup terhadap anak akan membentuk karakter anak yang baik. Kedekatan anak dengan orang tua sebagai teman, guru sekaligus konselor efektif bagi perkembangan mental spiritual anak. Namun juga, kepedulian orang tua tidak hanya berupa suntikan semangat dan doa restu. Dukungan finansial (khususnya bagi yang mempunyai rejeki lebih) dapat memoles lebih kemilau putra-putri mereka. Partisipasi oke, mutu yes. Sedang masyarakat dapat berperan sebagai bemper, wadah sekaligus pengawas eksternal nonformal. Masyarakat adalah sekolah sesungguhnya. Di masyarakat anak akan terasah dan teruji kemampuannya. Sehingga kelak anak tidak hanya berangan-angan menjadi orang kantoran, tetapi lebih mempunyai semangat menjadi entrepreneur. Mampu menghadapi tantangan, menciptakan peluang, tahan banting dan siap bersaing di percaturan global. Kesinergisan sekolah, orang tua dan masyarakat didukung kebijakan  strategis merupakan katalis dalam percepatan pembentukan generasi emas. Usia produktif  menjanjikan, tetapi aksi produktif lebih utama. 

Tulisan ini dimuat di majalah Media edisi Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar