Selasa, 28 Juli 2009

KUDA TULI, KUDA TERBANG DAN KUDA HITAM

Naik kendaraan bermesin memang banyak resikonya. Mau aman, pilih naik becak, delman atau naik kuda. Tetapi naik becak bisa dikira melanggar HAM. Orang kok disuruh genjot pedal. Mendorong orang lain yang duduk manis di kursi becak. Naik pedati sebenarnya nggak apa-apa. Tapi banyak kawasan yang melarang pedati masuk. Alasannya mengganggu kenyamanan. Alternatif lain naik kuda. Itupun tidak boleh sebarangan. Bisa-bisa yang naik celaka. Salah pilih kuda, tujuan nggak kesampaian. Seperti pilpres kemarin. Apa hubungan kuda dengan pilpres?
Jika diamati, ternyata para capres itu untuk menuju kursi RI 1 banyak yang naik kuda. Kuda yang dipilih. Mbak Mega mengawali karier politiknya, naik Kuda Tuli. Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli tahun 1996, ribut-ribut rebutan markas banteng. Waktu itu Mas Prabowo masih surodadu. Mas Probowo pasti tahu Kuda Tuli juga. Jadi kalau sekarang berpasangan, klop-lah. Tahu sama tahu tentang Kuda Tuli. Kuda Tuli yang merenggut jiwa. Dengan Kuda Tuli pula Mbak Mega jadi besar.
Sampai pengumuman KPU 25 Juli pasangan capres no 1 ini tertinggal perolehan poin. Mungkin kuda-kuda mas Prabowo larinya kurang terarah. Tidak mendengarkan aba-aba dengan cermat. Kuda-kudanya mungkin tuli beneran. Atau kudanya lupa tidak diberi kaca mata. Tolah toleh kiri kanan. Jadi larinya nggak bisa kencang. Nggak apa-apa Mbak Mega dan Mas Prabowo. Masih ada Puan Maharani, generasi dinasti Soekarno. Dan Mas Prabowo juga masih muda. Lima tahun ke depan masih layak kok nyapres lagi. Bukan bermaksud menasehati. Dua kali kehilangan tongkat, itu pertanda penyadaran buat setiap orang. Kalau masih mau maju resikonya mudah diterka. Bisa jatuh, dan sulit bangkit lagi.
Kuda apa pilihan Pak JK? Kuda yang dipilih kebagusan, kuda terbang. Dalam mitologi, kuda terbangnya pak Jusuf Kalla itu laksana Bouroq. Yang sering digambarkan seperti kuda bersayap berkepala manusia. Larinya secepat kilatan cahaya. Cocok dengan jargon yang diusung. Lebih Cepat, Lebih Baik. Sayang, mungkin Pak Kalla pegang kendalinya kurang greng. Dan lupa bahwa kuda tidak punya rem dan spedometer. Saking cepatnya orang sulit melihatnya. Lha wong larinya melebihi kecepatan cahaya. Mau direm nggak mungkin. Akhirnya orang cuma tahu kalau yang naik kuda terbang itu pasti pak Kalla. Cuma tahu orangnya, tapi nggak jelas bekasnya. Bekas pak Kalla cuma bisa dilihat waktu pak Kalla berhenti dan memarkir kudanya. Wajar saja perolehan pak Kalla akhirnya tertinggal, palin buncit. Meski kalah, pak Kalla tetap gentle.
Yang perlu dicontoh dari pak Kalla, nelpon kandidat pemenang. Mengucapkan say hello (Mengucapkan selamat, Anda layak menang juga nggak apa2). Meski belum resmi diumumkan. Padahal banyak orang mengakui, kendaraan pak Kalla top markotop. Atau mungkin pak Wiranto salah persepsi dengan pak Kalla. Pak Wiranto itu kan kalau bertindak sesuai hati nuraninya. Kira-kira dipikir pak Wiranto, nggak mungkin naik kuda bisa secepat cahaya. Kalau benar terjadi dikuatirkan bisa menimbulkan ledakan energi maha dahsyat yang tak terkendali. Bisa-bisa teori relatifitasnya Einsten timbul. Efeknya dapat membuyarkan angan-angan manusia. Makanya, sebagai pendamping joki kuda terbang, pak Wiranto tetap bekerja sesuai hati nurani. Dan mengawal sang Joki, agar jangan sampai jatuh kalau kuda terbangnya lari terlalu cepat. Tugas yang sudah mendarah daging sejak jadi ajudan. Kalau jaga terus jokinya, kapan bisa ikut lari lebih cepat?
Bagaimana dengan SBY. Orang itu kalau punya keyakinan kuat, tidak mudah dibisiki oarang lain dan berlaku cermat dan tepat. Pasti bisa melanjutkan perjalanan dengan aman. Ketika mau memilih kuda yang akan ditungganginya, mungkin pak SBY main catur dulu. Mikir-mikir strategi jitu, kuda apa yang dipilih. Apalagi kandang kuda pak SBY cukup lapang. Bisa menampung banyak kuda. Makanya begitu pemilu legislatif menempatkan partainya pak SBY sebagai jawara. SBY tenang-tenang saja. Dipilah-pilahnya kuda yang mau dikendarai. Malah dari sana-sini banyak yang nawari kuda. Kalau saja bisa, sekali jalan langsung naik 2 sampai 5 kuda, seperti akrobat.
Nah, mungkin ini keunggulan pak SBY. Ilmu strategi perang ala main catur diterapkan. Kuda catur itu kan bisa mengamankan dan mengancam lawan. Kuda catur saja tidak cukup. Perlu kamuflase agar kudanya tidak mudah diganggu orang dan bisa membantu meningkatkan laju pembangunan ekonomi bangsa. Jadi kuda yang dipilih akhirnya kuda hitam. Kuda hitam mulus yang sudah hafal medan dan tidak terjangkit penyakit. Tidak mudah terkenan virus H1N1 ataupun H1N5.
Ketika pak Budiono dipilih, banyak pihak meragukan. Baik kemampuan dan penerimaan masyarakat terhadap sosok beliau. Berbagai rumor dihempuskan. Tapi banyak kalangan lupa. Waktu ada pemilihan Akademi Fantasi, Indonesia Idol, KDI dan sejenisnya. Kata banyak orang, bukan terbaik yang terpilih. Yang terpilih terlebih dari empati terhadap penampilan dan kepribadian. Semakin orang dikuyo-kuyo, diolok-olok atau bahkan dihinakan. Semakin besar pula daya magnetnya. Dan itu terjadi. Pak Budiono akhirnya menjadi kuda hitam di pilpres. Menyokong Joki yang sudah terbukti di mata masyakat berhasil melewati masa krisis. SBY dan Budiono pada akhirnya unggul di pilpres.
Ini menjadi pembelajaran bagi kita semua. Bahwa untuk menjadi sang pemenang, orang tidak bisa lari sendirian. Terlalu percaya diri, menyepelekan bahkan berniat mencelakakan orang lain. Kuda-kuda yang dikendarai tidak hanya asal bagus, tetapi kuda harus taat kepada sang joki. Kuda harus sehat dan jinak. Bukan kuda yang kadang menyepak tuannya sendiri.
Banyak kuda pilihan yang siap mengantar tuannya. Tidak sedikit pula yang celaka dibuatnya. Jangan pilih naik kuda lumping yang suka makan beling. Jangan naik kuda nil, nanti bisa termakan. Jangan naik kuda kayu, yang hanya diam membisu. Dan awas, jangan kuda-kudaan di jalanan. Orang bisa menganggap kita gila beneran.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar