Sabtu, 05 Februari 2011

FORMULA KELULUSAN 2011

MENYELAMATKAN ANAK BANGSA, MENGUJI IDEALISME GURU

Ujian Nasional (UN) rasa baru, begitu kira-kira pendapat sebagian orang mengomentari UN 2011. Polemik unas yang tak berkesudahan untuk sementara harus diakhiri. Sebagian aspirasi masyarakat sudah ditampung Kemendiknas, agar UN tidak terlalu membebani kelulusan siswa.

Menganut asas komprehensif dan kontinuitas pendidikan, nasib anak bangsa ini diwujudkan dalam bentuk formula kelulusan. Formula ini berupa nilai kelulusan (NA), yaitu gabungan antar nilai UN dan nilai sekolah. Dengan rumus, NA = 0,6NU + 0,4NS, UN nilai ujian nasional dan NS nilai sekolah. NS = 0,6S + 0,4R, S nilai ujian sekolah dan R rata-rata nilai rapor semester 1 sd 5 untuk SMP dan 3 sd 5 untuk SMA. Dengan batas rata-rata nilai kelulusan NA minimal 5,50 dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0. Masih ditambah lagi nilai kepribadian siswa. Sedang kritria kelulusan dalam ujian sekolah ditentukan satuan pendidikan.
Itulah formula terakhir yang diharapkan bisa menolong siswa dari kekuatiran nasib anak banyak ditentukan nilai unas. Namun formula kelulusan ini tidak berdiri sendiri. Simak pasal-pasal dalam Permendiknas nomor 45 tahun 2010, seperti pasal 5 dan 6 berikut.

Pasal 5
(1) Peserta didik dinyatakan lulus US/M SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK apabila peserta didik telah memenuhi kriteria kelulusan yang ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan perolehan Nilai S/M.
(2) Nilai S/M sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari gabungan antara
nilai US/M dan nilai rata-rata rapor semester 1, 2, 3, 4, dan semester 5 untuk
SMP/MTs dan SMPLB dengan pembobotan 60% (enam puluh persen) untuk
nilai US/M dan 40% (empat puluh persen) untuk nilai rata-rata rapor.
(3) Nilai S/M sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari gabungan antara
nilai US/M dan nilai rata-rata rapor semester 3, 4, dan semester 5 untuk
SMA/MA, SMALB dan SMK dengan pembobotan 60% (enam puluh persen)
untuk nilai US/M dan 40% (empat puluh persen) untuk nilai rata-rata rapor.

Pasal 6
(1) Kelulusan peserta didik dalam UN ditentukan berdasarkan NA.
(2) NA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari nilai gabungan antara
Nilai S/M dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan Nilai UN, dengan
pembobotan 40% (empat puluh persen) untuk Nilai S/M dari mata pelajaran
yang diujinasionalkan dan 60% (enam puluh persen) untuk Nilai UN.
(3) Peserta didik dinyatakan lulus UN apabila nilai rata-rata dari semua NA
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencapai paling rendah 5,5 (lima koma
lima) dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0 (empat koma nol).
Selengkapnya silakan baca Permendiknas No 45 tahun 2010 atau buka website BSNP di http://bsnp-indonesia.org

Membaca Permendiknas tersebut, para guru harus bersyukur. Bahwa jerih payah guru membelajarkan anak selama tiga tahun dihargai. Nilai rapor dalam proses belajar diapresiasi. Apalagi anak-anak, mungkin mereka riang gembira menyambutnya, merasa ada dewa penolong datang lebih dini.

Formula ini diharapkan mengurangi keresahan masyarakat apalagi siswa. Semoga tidak terjadi lagi siswa berprestasi bernasib buruk, tidak lulus gara-gara nilai UN-nya tidak memenuhi batas minimal kelulusan. Pengalaman tahun lalu menyadarkan pengambil kebijakan untuk mempertimbangkan prestasi anak selama menuntut ilmu.

Prestasi ini tentunya lebih mudah diamati dari rapor siswa. Pretasi lain yang diraih lewat kejuaran dianggap sudah terwakili. Meski masih ada sisi kelemahannya. Bagaimana jika prestasi anak tersebut tidak langsung berhubungan dengan aspek penilaiaan kelulusan yang dituangkan dalam bentuk angka? Semisal prestasi anak di bidang olah raga, seni atau lainnya. Sementara anak tersebut sangat lemah di bidang lain. Batas minimal nilai 4,00 terasa sulit dilalui.
Meski guru mempunyai hak untuk ikut memberi pertimbangan terutama terkait aspek kepribadian, namun penentu utamanya tetap angka-angka NA. Guru hanya bisa menentukan vonis tidak lulus bagi anak yang NA-nya memenuhi syarat kelulusan tetapi aspek kepribadiannya buruk. Namun, bagaiman jika anak tersebut NA-nya sudah tidak memenuhi syarat lulus? Guru hanya bisa pasrah, berdo’a dan memberi nasehat agar anak yang tidak lulus tabah.

Di sisi lain, penggunaan rapor dikuatirkan mempunyai efek negatif. Seperti diungkapkan pak Nuh kala menyampaikan formula kelulusan ke media akhir Desember lalu. Bahwa koefisien nilai sekolah yang menggunakan nilai rapor lebih kecil koefisien bobot nilai ujian nasional. Karena berdasar penelitian untuk penetapan koefisien tersebut diketahui terjadi keanehan diantara sekolah terakreditasi. Hampir tidak ada ada perbedaan signifikan diantara sekolah-sekolah tersebut terakreditasi A, B, C. Semua memberi nilia aman bagi siswanya.
Menjadi rahasia umum, ketika nilai rapor digunakan dalam penentuan kelulusan terjadi anomali nilai. Anak yang kemampuanya biasa bahkan rendah diberi nilai tinggi sedang anak yang benar-benar pandai nilai rapornya dibiarkan apa adanya, tidak jarang malah kalah bagus. Para guru terlalu sayang dengan anak-anak. Jika biasanya pelit ketika memberi nilai ulangan dan nilai rapor di kelas 1 dan 2, begitu membuat nilai untuk rapor kelas 3 berubah 180 derajat. Obral nilai, demi kelulusan siswa tercinta. Hal seperti ini terjadi waktu model ujian nasional masih bernama Ebtanas.

Jika rapor mulai kelas 7 (untuk SMP) dan kelas 11 (SMA) digunakan kembali dalam penentuan, dikuatirkan terjadi lagi pengkatrolan nilai. Manipulasi kemampuan dalam dalam bentuk angka. KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang digunakan sebagai parameter kompetensi anak juga akan bergeliat, dinaikkan hinggá batas aman. Indikator riil untuk menentukan KKM tidak lagi ada gunya. Remidi lambat laun akan lenyap. Apa gunanya remidi berulang, jika akhirnya terpaksa rapor anak harus mencapai batas aman.

Formula baru benar-benar akan menguji idealisme guru. Sisi profesional dan rasa kemanusian akan berperang. Mana yang akan menang? Mengalah demi kemashlahatan atau mempertahankan idealisme demi profesionalisme guru pemegang sertifikat guru profesional. Yang jelas segala upaya untuk menyelamatkan nasib anak tidak terletak pada formula kelulusan. Persiapan yang matang menghadapi ujian nasional serta belajar dengan baik sejak awal masuk sekolah adalah kunci kesuksesan siswa.

Tulisan ini dimuat di majalah Media edisi Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar