Sabtu, 06 Januari 2018

MENTAL KUCING




Yang namanya kucing, ya tetap hewan. Punya perasaan tidak punya pikiran. Jadi, kalau berbuat kesalahan jangan dijadikan kambing hitam. Lha wong sudah tahu suka mencuri kok dijadikan peliharaan.

Mungkin itu pula muncul istilah alim kucing. Tidak adakan, istilah alim anjing. Padahal keduanya sama-sama binatang peliharaan. Enggak tahu kenapa, najis kali. Sejinak, selucu atau nggemesi sekalipun, kalau si kucing nakal pasti yang empunya kesal. Mau dipukul melanggar hak asasi hewan, dibuang kasihan, dipelihara terus, makan hati. 

Belum lagi punya kucing peranakan luar negeri. Manjanya setengah mati. Makanan bernutrisi harus di hidangkan di wadah suci. Buang hajat di pasir yang harus beli. Bulunya harus rutin dikramasi, disisiri mungkin juga perlu direbonding biar rapi. Ngalahkan memelihara anak kandung sendiri. Minta fasilitas mewah, kerja ogah, biaya operasionalnya menghabiskan jatah. Belum lagi suka buat ulah. Berlagak pongah, merasa sang majikan tak akan memberi hukuman walau perbuatannya membuat resah seisi rumah. Sang majikan jadi salah tingkah.


Makanya, punya kucing itu harus bijaksana. Kalau si kucing nakal, ya sesekali atau banyak kali diberi hukuman saja. Jangan selalu diperlakukan istimewa, agar kucing tidak jemawa. Yang punya kucing pasti sudah hafal kebiasannya. Hanya butuh keberanian untuk melakukannya. Beranikah manusia dengan kucing? Apa manusia justru takut kualat dengan kucing, yang nanti saat sang majikan mati, kuburannya diloncati kucing hidup??? Jika ia, manusia jenis ini kategori penakut bin pengecut. Atau jangan-jangan sang majikan sudah ketularan virus kucing= alim kucing. Ada yang tersungging, eeeh tersinggung? Kena, deeech!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar