Rabu, 20 Januari 2010

MANUSIA DAN TOPENG MONYET





Anda bisa membedakan, mana monyet mana yang bukan monyet? Gambar di atas hanyalah bagian pertunjukan topeng monyet.

Manusia dan Topeng Monyet
Rabu, 20 Januari 2010 | 9:04 WIB | Posts by: jps | Kategori: Warteg | ShareThis
Abdul Hakim
Guru SMPN 1 Dolo:po, Madiun
dhakim_dolopo@yahoo.co.id
Minggu sore, 3 Januari 2010. Saya sedang bersih-bersih rumah. Dari jauh terdengar musik yang saya kenal sejak kecil. Musik pengiring topeng monyet. Di kampung saya, topeng monyet ini populer disebut ketkek ogleng komedi monyet.
Saya segera menghentikannya, nanggap hiburan murah meriah itu. Lumayan, sambil bernostalgia juga menyenangkan anak, keponak¬an serta anak-anak tetangga. Musik pun dimainkan. Lalu si monyet mengikuti perintah sang pawang. So pasti, adegan demi adegan dilakoni monyet. Menarik gerobak, membawa payung, hormat, salto, sujud, dan sambil memakai topeng memanjat pohon.
Kebetulan tempat atraksinya di bawah pohon lamtoro. Monyet pun berjalan, melompat kegirangan mengikuti hentakan musik. Yang terakhir, ular dikeluarkan. Seperti monyet, ternyata jalannya ular juga bisa dikendalikan dengan musik sang pawang. Pertunjukan pun selesai, sang majikan mematok Rp8.000 untuk opera monyet ini. Murah bukan? Berapa bagian monyet dan ular? Yang pasti monyet sudah senang dengan sebuah pisang.
Itulah monyet dan topengnya. Monyet-monyet bertopeng bisa melakukan apa saja sesuai perintah majikannya. Topeng untuk menutupi rasa malu, mengubah penampilan. Topeng juga untuk melindungi diri dari para pengincar agar tidak ketahuan. Tidak sedikit manusia yang hidup ala komedi monyet. Bermuka dua dan menutupi mukanya dengan topeng-topeng kepalsuan.
Tidak malu berbuat curang untuk mengeruk keuntungan. Berwajah ganda demi meraih kepuasan. Terpaksa bersimpuh di hadapan sang bos untuk sesuap nasi. Menggadaikan harga diri demi gengsi dan meraih posisi.
Tetapi, banyak yang lupa bahwa yang bergelayut di bawah kekuasan tidak hanya para monyet. Masih ada ular, harimau, kancil, ataupun buaya. Meski satu koloni, mereka semua tidak bisa selalu akur. Rukun di hadapan bos, kerja sama tatkala menangkap mangsa. Tetapi, ketika tidak ada bos dan berbagi tangkapannya, seringkali adu kekuatan sendiri. Dengan akal liciknya, menjatuhkan satu sama lain.
Padahal, mereka itu kuat dan pintar. Sayang tidak menggunakannya untuk menjadi dirinya sendiri. Mereka lebih suka dikendalikan orang lain. Tidak mau bersusah payah membangun komunitas sendiri dan berinteraksi dengan baik. Hidup saling menghargai untuk meraih sukses dengan kemampuan sendiri. Sebuah opera kehidupan mirip komedi topeng monyet.
Padahal, manusia diciptakan dengan keunggulan akal dan hati nurani. Dengan akalnya manusia diharapkan mau berkarya. Mampu membedakan yang benar dan yang salah. Dengan perasaan dan hati nurani, manusia dapat mengarahkan hidupnya untuk memilih jalan kehidupan yang lebih baik.
Tidak sekadar mencari kepuasan sesaat. Hendaklah manusia memanusiakan manusia sebagai makhluk beradab. Tidak meniru kehidupan liar yang ada di luar sana karena manusia bukan keturunan kera.

Baca juga di kolom WARTEG, HArian Surya Pos, Rabu 20 Januari 2010


[link]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar