Minggu, 17 Januari 2010

SUSTER KERAMAS DAN MORAL BANGSA

Miyabi ditolak, Rin Sakuragi bertindak. Tanpa banyak gembar-gembor sebelumnya, pihak produser membuat film Suster Keramas. Penonton pun berjubel ke bioskop. Penasaran, seperti apa filmnya. Bukan alur cerita tetapi adegan yang diberitakan menampilkan adegan syur Rin Sakuragi menjadi magnet. Karena membaca judulnya saja orang pasti tergoda. Apa Suster Keramas sekuel Suster Ngesot?
Dan yang makin bikin orang semakin penasaran tentu saja bintang utamanya. Rin Sakuragi, bintang porno asal Jepang. Artis yang sudah membintangi puluhan film biru di negeri matahari terbit, yang kabarnya lebih tenar dari Miyabi. Berbagai pihakpun kebakaran jenggot. Tak kurang MUI di berbagai daerah menolak pemutaran film Suster Keramas. Ada yang beralasan, selain terlalu mengumbar adegan hot, kata keramas ini berkonotasi dengan mandi besar. Mandi wajib bagi orang yang sudah melakukan hubungan dewasa. Dan ini dianggap melecehkan syariat agama.
Terlepas dari penolakan Suster Keramas, sebenarnya terlalu banyak film-film Indonesia yang menyuguhkan adegan-adegan tak layak tonton. Siapa yang salah, produser, artis, lembaga sensor film atau penontonnya. Di sinilah manusia menjadi hakim bagi dirinya sendiri. Hakim yang menentukan baik buruknya sesuatu yang dilihat mata dan hati.
Jadi kalau menyalahkan siapa yang salah, dan yang salah masuk penjara. Bumi ini perlu bangunan penjara maha besar. Pihak produser cari untung, si artis cari uang, penonton cari hiburan. Klop sudah, semua saling membutuhkan. Bukan aneh lagi. Kalau film Indonesia menyajikan artis panas ataupun adegan-adegan layak sensor, film tersebut bakal dibanjiri penonton. Memang seperti itukah wajah film dan selera penonton Indonesia? Tidak adakah filter ketat dari pihak sensor? Bukankah ada lembaga penyaringnya, Lembaga Sensor Film dan masyarakat. Sensor jangan hanya bergantung MUI, tokoh agama, tokoh masyarakat apalagi pemerintahan. Kita semua mempunyai tanggung jawab moral atas pembangunan moral bangsa ini.
Apa gunanya UU Anti Pornografi. Dengan undang-undang itu siapapun berhak menuntut segala sesuatu yang mengumbar ataupun yang bisa mengundang nafsu. Jadi di tangan mereka ketajaman nurani dipertaruhkan. Tidak hanya mengandalkan tajamnya gunting sensor. Sehingga dengan kekuatan moral untuk memotong setiap adegan yang lebih banyak mempertontonkan maksiat ini, moral anak bangsa dapat diselamatkan. Tidak hanya memuaskan hawa nafsu segelintir orang yang memperjuangkan kebebasan meski dengan alasan seni.
Seni memang bebas, tapi moral bangsa harus diselamatkan. Jadikan moral sebagai panglima, garda terdepan pelindung dari pornografi ataupun pornoaksi. Masih banyak film bermutu yang bisa dibuat tanpa harus menonjolkan kemolekan tubuh dan ketenaran bintang filmnya. Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Sang Pemimpi adalah contoh film pembangun motivasi dan meningkatkan moral anak bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar