Senin, 30 Agustus 2010

LAILATUL QODAR

TINGGAL SEPERTIGA JALAN

Tak terasa lebih setengah Ramadhan kita jalani. Mungkin saja kita sudah mulai hitung-hitung, seberapa banyak deposito pahala yang sudah terkumpul. Apa yang kita lakukan di 2/3 Ramadhan ini ? Apakah kita sudah mendapatkan rohmat dan maghfiroh yang dijanjikan Alloh?

Pertanyaan-pertanyaan yang bisa kita jawab sendiri, tanpa kita tahu benar dan salahnya. Seperti yang dijanjikan Alloh bahwa di dua sepuluh hari pertama ini Alloh akan melimpahkan rohmat dan maghfiroh-Nya. Jika saja puasa kita sempurna hadiah Alloh tersebut niscya bisa diraih. Kesempurnaan yang Alloh sendiri tahu. Karena Sesungguhnya puasa itu urusan Alloh, dan Alloh akan menghitung sendiri pahala hamba-Nya.

Selama setengah Romadlon, masjid-masjid masih penuh jamaah. Surau-surau ramai didatangi umat Islam. Lantunan Alqur’an merdu disuarakan sepanjang malam. Orang berebut mendermakan harta kepada fakir miskin, memberikan ta’jil, memberikan makanan buka puasa ataupun sekedar air pelepas dahaga bagi yang tadarus. Fastabikul Khoirot.
Hal ini menunjukkan bahwa ghiroh beragama sudah melekat pada kaum muslimin. Ibu-ibu dan para gadis yang biasanya makmum, antri di depan televisi menunggui sinetron favoritnya untuk sementara atur strategi antara masak, bersih-bersih, taraweh dan tadarus. Meninggalkan sementara waktu, ikut taraweh tetapi masih bisa nonton. Kalau perlu cari yang rakaatnya sedikit dan imamnya cepat. Karena pihak televisi juga tidak mau ditinggalkan “umatnya”, dengan memindah jam tayang.

Warung-warung banyak yang membatasi jam buka pintunya, dengan membuka sebagian pintu dan menutup kain untuk memberi kesempatan yang “terpaksa tidak berpuasa”. Yah, terpaksa tidak berpuasa karena syariat, keadaan, tuntutan perut keluarga ataupun karena iman yang belum melekat.

Puasa memang diperuntukkan bagi yang beriman seperti yang tersirat di QS Al Baqoroh 183. Sehingga Romadlon ini juga sebagai parameter kadar kualitas keimanan seseorang. Mereka yang belum terpanggil berpuasa, janganlah dipinggirkan. Para alim ulama berkewajiban menyadarkannnya. Atau mereka yang sekarang tidak berpuasa, mungkin saja sudah terbiasa berpuasa yang lebih berat. Tidak hanya sekedar tidak makan dan minum mulia terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Mungkin mereka sudah terbiasa haus dan lapar dari ketidak adilan, kesejahteraan, dan kehidupan yang layak termasuk juga puasa tidak mendapatkan siraman rohani sebagai pencerahan iman mereka.

Bagaimana dengan orang-orang yang berpuasa? Sudah merasakah yang berpuasa sebagai orang beriman karena sudah melaksanakan puasa? Seberapa tinggi kadar keimanannya? Seberapa sukses puasanya?. Kita yang sebagian besar termasuk golongannnya orang awam, menurut Iman Al Ghozali puasanya baru sebatas puasa untuk tidak makan dan minum serta tidak melakukan hubungan badan di siang hari. Kebanyakan dari kita belum mampu untuk mempuasakan panca indra kita.

Masih sulit kita ini menahan mulut untuk tidak ngrasani, bicara kotor dan marah. Mata kita terlalu mudah tertipu oleh keindahan dunia. Telinga kita masih suka mendengan hal-hal yang tidak baik. Perbuatan kita masih sering melanggar aturan, tidak disiplin, mencuri waktu, tidak jujur dan sebaginya.

Di sepertiga terakhir ramadan masih ada kemuliaan yang bisa diraih. Malam lailatul qodar. Malam 1000 bulan. Menjadi cita-cita kaum muslimin untuk menjumpai malam lailatul qodar. Hanya Alloh yang tahu dan menetapkan. Kapan lailatul qodar itu terjadi. Hanya manusia pilihan yang bisa menjumpai lailatul qodar. Ibarat pertandingan, inilah finalnya. Tidak ada peserta yang mencapai final tanpa babak penyisihan dan semifinal. Olah karena itu menghidupkan setiap malam ramadan harus menjadi menu setiap muslimun agar menjadi orang beruntung. Dapat menemui Malam 1000 bulan. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar