Rabu, 11 Agustus 2010

MENCEGAH SISWA BERPRESTASI FRUSTASI

Siapa yang tak kenal anak-anak Laskar Pelangi? Dengan sarana terbatas dan dengan semangat pantang menyerah mampu mewujudkan mimpi-mimpinya. Cerita fiksi yang bisa menjadi inspirasi bagi seluruh anak negeri. Cerita riilnya, ada anak dari pedalaman Papua mampu menemukan teori baru dalam fisika. Beasiswa ia raih dan mendapat beasiswa ke Amerika. Kini ia sukses berkat kepintarannya. Bagaimana dengan anak-anak sekarang? Apa perbedaan antara anak-anak yang berprestasi dengan yang kemampuannya pas-pasan. Terutama dengan kelanjutan pendidikan dan masa depannya? Mujurkah nasib anak-anak berprestasi itu, baik dalam bidang akademik atau tingkat ekonominya?

Kita bisa memperhatikan keadaan anak-anak di sekitar. Dan mengamati, bagaimana kemauan serta kemampuan mereka? Apa yang diingankan anak selepas sekolah, jadi anak pinter atau milyader? Jika pertanyaan ini dilontarkan kepada siswa, jawaban yang timbul bisa diterka. Mereka ingin hidup enak, punya rumah dan mobil mewah, harta melimpah, punya pendamping jelita dan mati masuk surga. Cita-cita standar anak sekolah, begitu jawab mereka. Dengan kata lain, kalau dipaksa memilih kebanyakan memilih jadi orang kaya dari pada orang pintar? Lho mengapa?

Mereka sudah melihat di masyarakat. Banyak anak-anak yang waktu sekolah pintar, berprestasi, tetapi nasibnya tidak beruntung. Nilai yang diperoleh dengan susah payah tidak menjamin masa depannya. Prestasi yang diukir belum mampu mengubah nasib mereka. Apalagi kalau cuma ingin nilai baik waktu ujian, banyak yang sudah hafal strategi jitunya. Menggantungkan nasib kepada mereka yang pintar. Sementara selepas lulus sekolah, yang pintar bingung meneruskan sekolah atau mencari pekerjaan. Sedang yang kemampuannya sedang-sedang saja, bisa melenggang mulus memilih sekolah yang diinginkan berkat jasa baik anak pintar. Piagam prestasi pun belum mampu menembus sekolah favorit atau yang berstatus RSBI. Terhalang sumbangan sukarela yang tak mampu dicicil orang tuanya.

Dan Tuhan memang adil. Tidak sedikit anak-anak pintar ini berasal dari keluarga dengan ekonomi sederhana. Mungkin Tuhan memberi cobaan kepada mereka yang diberi kekurangan harta tetapi mempunyai kelebihan otak dan talenta untuk mengembangkan diri berjuang keluar dari jurang kebodohan dan kemiskinan. Nasib mereka dipertaruhkan dari hasil kerja keras dirinya sendiri.

Hanya saja haruskah kita berdiam diri, membiarkan anak-anak berprestasi ini bergelut melawan kejamnya jaman. Tujuan pembangunan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sepertinya dihadapkan dengan tembok tinggi. Alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN dirasa belum menyentuh hingga lapisan terbawah. Program pemerintah memberikan beasiswa kepada ribuan siswa berprestasi dari keluarga kurang mampu memang sudah menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap masa depan anak-anak bertalenta ini. Meski itu dirasa belum mencukupi.

Tetapi untuk mampu bertahan dalam mengenyam pendidikan tidak cukup dengan beasiswa pendidikan. Biaya hidup yang kian menjulang serta persaingan masuk ke sekolah berkualitas baik kadang seperti meraih puncak mercu suar diantara badai yang menerjang. Terlalu sulit diraih oleh mereka-mereka yang berkeinginan maju bermodal kemampuan otak dan talenta saja.

Lantas dikemanakan anak berprestasi yang kurang beruntung ini? Problem mendasar anak prestasi terutama dari keluarga ekonomi kurang banyak berkutat dengan biaya. Di samping itu pembinaan yang kurang membuat prestasi mereka stagnan dan belum tersalur ke wadah yang tepat. Berbagai prestasi yang ditunjukkan baik dan bidang akademik maupun non akademik akhirnya hanya mentok di ajang lomba atau tercetak dalam lembar ijazah serta piagam penghargaan. Ketika melihat anak-anak berlomba di ajang OSN, OOSN, atau FLSSN, kita bisa berbangga diri. Banyak anak-anak hebat dengan kemampuan otak dan bakat menakjubkan. Setelah kegiatan itu berkakhir bagaimana tindak lanjutnya?

Ketika hasil unas 2010 diumumkan, ada satu hal istimewa bagi peraih nilai unas tertinggi. Ditelepon Presiden SBY. Sebuah kebanggan luar biasa tentunnya. Kita tidak tahu persis apa tindak lanjut dari peneleponan oleh presiden tersebut. Selain menjadi terkenal dan anak tersebut tentu bisa masuk ke sekolah yang ia mau. Bagaimana dengan nasib biaya pendidikan berikutnya. Sering terjadi, prestasi dalam pendidikan kurang mendapat rewards yang pantas. Ucapan selamat, penganugrahan dengan ceremonial atau pemberian piagam penghargaan memang dirasa sebagai penghargaan yang tak ternilai. Jangan lihat bentuk penghargaannya, tetapi lihatllah nilai perhatian dan historisnya. Begitu wejangan yang sering dilontarkan tatkala memberi penghargaan dengan nilai finansial minim bahkan tidak ada sama sekali. Tidak ada dana, anak-anak sudah cukup diberi kertas piagam adalah kalimat sakti untuk menutupi kekurang pedulian beberapa pihak yang kurang intens terhadap prestasi siswa. Kalah pamor dengan hadiah lomba panjat pinang atau lomba burung berkicau.
Lantas apa yang bisa dilakukan terhadap anak-anak berprestasi ini? Untuk menyiapkan generasi bangsa handal dengan program terarah, pemerintah atau pihak-pihak yang peduli pendidikan dapat membuat program khusus yang diperuntukkan bagi siswa berprestasi terutama yang kemampuan ekonominya kurang. Ambil contoh PASIAD atau Sampoerna Foundation. Lembaga yang peduli dengan menyisihkan sebagian keuntungan atau membentuk link peduli pendidikan guna merekrut dan mewadahi bakat anak-anak berkemampuan lebih. Dengan lembaga semacam ini, siswa–siswa berprestasi mendapat sokongan dana dan pembinaan intensif agar talenta yang ada bisa berkembang.
Yang perlu ditambahkan, lembaga tersebut juga harus memantau perkembangan akademis, sosial-ekonomi dan psikologis anak sesuai rel yang telah ditetapkan. Sehingga siswa-siswa berprestasi ini dapat semakin berkembang dan mempunyai jaminan masa depannya. Apa gunanya berpretasi jika akhirnya dirinya terbengkalai. Menjadi kewajiban bersama memikirkan nasib siswa berprestasi agar mereka tidak menjadi anak-anak yang frustasi. Anak berprestasi yang tidak terbina dengan baik dan frustasi bisa menimbulkan bahaya laten di kemudian hari. Agar tidak muncul mantan anak berprestasi menjadi seperti Dr. Azahari, tokoh teroris paling dicari yang sudah mati. Kepedulian terhadap anak berprestasi sekarang, akan melahirkan generasi cerdas di masa datang.

Tulisan ini terbit di majalah Media edisi Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar