Rabu, 05 Januari 2011

PESONA PERMENDIKNAS 28 TAHUN 2010

KASEK (BUKAN LAGI) CITA-CITA TERTINGGI GURU

Kalau bapak/ibu guru mengikuti pelatihan, workshop atau rapat-rapat yang mengundang guru, seringkali dipameri agar para guru nantinya bisa menjadi kepala sekolah (Kasek). Sepertinya kasek menjadi cita-cita tertinggi seorang guru. Sudah sebegitu tingggikah nilai Kasek bagi seorang guru?
Bisa jadi jawaban ya atau tidak. Karena bukan rahasia lagi, tidak sedikit guru yang dari awal sudah menata rel agar nantinya bisa menjadi kasek. Tanpa mengukur kemampuan dirinya, ia berusaha sekuat tenaga agar segera mendapat wild card mengikuti tes calon kasek, syukur langsung jadi. Di sekolah bapak ibu ada satu dua orang guru model begini bukan? Guru yang boleh dikatakan guru ambisius. Apakah ini salah?

Jangan mudah menyalahkan dulu. Setiap perbuatan pasti ada plus minusnya. Ada untunngnya juga jika di sekolah ada yang ambisius ingin menjadi calon kasek. So pasti, kalau calonnya berisi, sekolah akan menangguk keuntungan besar. Kalau perlu guru itu dimanfaatkan. Dibombong biar keluar segala kemampuannya. Nah, kepala sekolah dan rekan guru lain akan menjadi ringan pekerjaannya. Ini yang namanaya ambisius membawa berkah.

Namun coba kalau guru ambisius itu tidak kompeten untuk menjadi calon kasek. Wah..wah...wah... ini yang namanya musibah. Jangankan rekan guru, kepala seolah definitif pun bisa kerepotan mengurusnya. Mau ditempatkan di depan, tetapi tidak mumpuni. Di belakang, kerjanya mengganggu. Belum lagi merasa punya orang pusat, merasa kebal hukum, tidak takut dengan siapapun, kerja seenaknya sendiri. Serba repot kan. Lha kalau nantinya jadi kasek beneran, akan jadi apa sekolahnya?
Lalu kenapa kasek menjadi idola? Usut punya usut, mereka-mereka yang ngebet pengin jadi kasek tersebut ternyata banyak dilatar belakangi unsur materi. Yang ada dalam benak mereka, begitu jadi kasek, banyak pundi-pundi masuk kantong. Ada fee dari blok grand, jual LKS, jual seragam dll. Woowalaaah baru ketahuan sebab musababnya. Nah…nah. Kalau yang begini ini perlu diluruskan.

Kalau materi yang jadi incaran, lha mbok yaa tidak usah jadi kasek. Apa tidak takut berurusan dengan KPK dan menginap di hotel prodeo. Di era reformasi dan keterbukaan informasi untuk public ini. Jangankan seorang Kasek, seorang kepala daerah hingga presiden saja tidak boleh memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri atau keluarganya. Setiap saat masyarakat bisa melaporkan segala tindakan yang dianggap melanggar prosedur apalagi melannggar hukum. Termasuk untuk jabatan seorang kasek.
Sudah banyak kasek yang terpaksa berurusan dengan pihak berwajib hanya gara-gara salah prosedur. Meski secara riil tidak ada yang dirugikan. Tetapi inilah era keterbukaan. Ada saja unsur masyarakat yang merasa dirinya mewakili rakyat membawa masalah kecil ke pihak berwajib. Padahal karena berurusan dengan pihak-pihak yang membawa sengketa, justru lebih banyak efek kerugiannya. Kegiatan KBM dan kegiatan sekolah lainnya terganggu. Ini baru hal yang harus berurusan dengan hukum. Belum lagi dengan tugas dan tanggung jawabnya sesuai tupoksi , tugas pokok dan fungsinya.

Mungkin saat ini sudah banyak kepala sekolah yang mulai berancang-ancang berhenti menjadi kepala sekolah. Seperti seorang kepala sekolah yang pertengahan November lalu ketemu saya. Beliau sejak jadi guru sangat aktif dan produktif. Lama tidak ketemu, saya pun menyapanya. ”Pak, sekarang apa sudah jadi pengawas?”. Beliau menjawab pendek. ”Belum, malah saya pingin cepat menyelesaiakan masa bhakti jadi KS. Ingin jadi guru saja” Jawaban singkat, mengandung tanya. Mengapa ingin segera lengsesr jadi kasek dan ingin jadi guru biasa. Bukankah biasanya setelah kasek, promosi jadi pengawas. Pertanda peningkatan karier?

Dan mungkin kita yang pernah mendengar curhat para kasek ini bisa meraba-raba. Mengapa kasek sekarang tidak seperti kasek jaman dulu? Kasek sekarang semakin berat tanggung jawabnya. Berat di otak, ringan di kantong. Dengan tambahan pendapatan (resmi) tidak lebih dari Rp 200.000,00, besarnya tanggung jawab tidak seimbang dengan ongkos yang dikeluarkan. Tidak sedikit kasek-kasek ini torok alias merugi. Siapa yang mau merugi, sementara pekerjaan terus memburu tanpa mengenal waktu. Nggak mau lah yaw.

Seorang kasek tentu mempunyai mobilitas tinggi. Perlu ongkos dsb. Dari mana anggaran untuk itu? Jika hanya keperluan dinas saja secara hukum tidak bisa dianggarkan oleh sekolah lewat BOS sebagai satu-satunya sumber dana pendidikan sekolah (karena menurut Badan Pemeriksa Keuangan bertentangan dengan aturan). Lantas apa harus ditanggung dengan uang pribadi, setelah uang tunjangan juga tidak cukup. Apa ini malah tidak menimbulkan korupsi model baru?

Ini baru beberapa hal terkait pembiayaan. Belum lagi beban tanggung jawab lain terkait kebijakan dan misi daerah yang sering bermuatan politis. Kedudukan kasek seperti buah simalakama. Semakin berat rasanya menjadi kasek.
Oleh karena itu dengan terbitnya Permendiknas no 28 tahun 2010 yang mengatur mutasi kasek menjadi wewenang mendiknas. Ini langkah awal meringankan beban psikologis kasek. Namun bukan berarti lowongan kasek menjadi cita-cita menarik lagi bagi guru. Simak saja beberapa syarat kasek yang harus disiapkan daerah (Baca JP 3 Nov 2010). Pemda harus menyiapkan calon kasek 2 tahun sebelum diangkat, memberi pelatihan beserta menerbitkan sertifikat calon kasek dsb. Semakin berat bukan? Nah, maka wajar sekali jika ada kasek yang saat ini ingin segera menyelesaiakan masa tugasnya dan memilih jadi guru biasa. Tanggung jawab lebih ringan, gaji sama, dapat tunjangan profesi pendidik lagi. Lumayan kan.?

Dengan masa bhakti 4 tahun dan dapat diperpanjang jika mempunyai prestai sangat baik, akankah pengabdian kasek setimpal dengan tunjangan tanggung jawabnya Jangan lagi pimpinan level bawah harus terus menerus berkorban, agar ibadahnya bisa lebih tenang. Berkorban perlu keikhlasan. Menjadi kewajiban penentu kebijakan agar bawahan bisa mengabdi dengan ikhlas. Patut menjadi renungan, lha wong yang sekarang menjabat Kasek saja ingin menjadi guru biasa, masa yang guru biasa masih ingin jadi kasek?

Tulisan ini dimuat Majalah Media dinas pendidikan prop Jatim Edisi Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar