Minggu, 01 November 2009

RUNTUHNYA TIRANI

31 Oktober 1989, Tembok Berlin runtuh. Lambang tirani di jerman itu jebol oleh gerakan massa pro demokrasi. Berawal dari Berlin, angin perubahan menyebar ke Eropa Timur. Dan Jayalah demokrasi. Runtuhnya Tembok berlin 20 tahun lalu itu diperingati oleh masyrakat Jerman dengan menghadirkan 3 mantan tokoh penting dalam era pemerintahan masa itu. George Bush, Helmuth Kohl dan Gorbachev. Sebuah keruntuhan yang menghadirkan kebangkitan. Menyatukan hati masyarakat Jerman Barat dan Timur yang sekian lama terbelunggu tingginya tembok. Tembok pembatas saksi bisu melayangnya ribuan nyawa. Masyarakat Barat yang dikenal liberal itu mendambakan kehidupan masyarakat yang damai, rukun dan bersatu.
Kita bangsa Indonesia tidak mempunyai tembok pembatas antar suku. Laut dan selat memisahkan keberagaman kehidupan. Orang orang yang dikenal ramah membuka diri dengan yang lain. Menerima perbedaan sebagai rahmah. Kehidupan yang aman damai berjalan beriring tanpa ada rasa merasa dirinya lebih. Tidak ada pertikaian yang mencolok antar suku, golongan atau strata masyarakat manapun. Tapi itu dulu. Sekarang?
Ketika kran kebebasan dibuka lebar,bukannya kehidupan rukun damai tecipta. Meski tak parah, tetapi kehidupan bangsa ini sedikit terkoyak. Tercoreng dengan berbagai perpecahan dan adu strategi mencapai titik kekuasaan tertinggi di sudut-sudut kepentingan. Kegagalan mencapai kekuasan bukannya legowo, tapi masih banyak pihak yang berusaha untuk sekedar berbeda dan membuang muka.
Begitu banyaknya perkelaian, pertengkaran bahkan perang anatar gang, kampung dan suku hanya perkara sepele. Batas batas yang sebenaranya tak perlu dipertentangkan berusaha diungkit dan ditinggikan dan dibangun bak tembok berlin. Batas harus jelas dan siapapunyang melewati batas dianggap sebagai musuh. Kalau sudah musuh, lantas bagaimana? Kita bisa meraba, musuh /lawan harus dihancurkan.
Batas-batas toleransi, kebebasan dan demoktrasi kini lak lagi jekas. Batas itu semakin diperjelas untuk membedakan siapa kawan dan siapa lawan. Batas yang membelenggu dan malah dirasakan sebagai bentuk perwujudan kebebasan yang tersumbat.
Kapankah batas batas ini masih dilanggengkan di bumi pertiwi? Tembok Berlin saja diruntuhkan, Mengapa kita membangun Tembok Berlin di negeri sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar