Senin, 30 November 2009

DAGING, KEMISKINAN DAN KECERDASAN

Tingkat konsumsi protein yang masih rendah pada masyarakat kita merupakan salah satu indikator lembaga survei, betapa miskinnya masyarakat Indonesia. Slot Iklan Budi Anduk yang mengatakan dirinya pendek karena kurang protein cocok sekali dengan potret kemiskinan dan kurangnya protein bagi sebagian besar rakyat.
Kita bisa melihat pada pembagian daging korban tahun ini. Betapa hanya untuk memperoleh sekerat daging 3 ons, mereka rela antri sejak dini hari. Siapa tahu dengan mengkonsumsi daging, dirinya dan anak2 mereka tdk akan berbadan pendek kayak Budi Anduk.
Apa benar separah inikah kekurang asupan gizi masyarakat kita?
Apa indeks SDM kita yang terpuruk di peringkat bawah juga dipengaruhi gizi masyarakat yang rendah pula?
Tapi mengapa banyak anak2 cerdas juga berasal dari anak2 yang miskin? Yang sayangnya mereka tidak mampu melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi?
Mengapa orang2 yang korupsi, yang jadi penguasa, banyak dari mereka orang2 yang setiap hari kelebihan nutrisi?
Apakah gizi asupannya tidak mampu mencerdaskan otaknya? Tidak mampu melihat kebenaran?
Apakah mereka yang saban hari makan protein hewani ini pada hari raya korban juga berkorban? Atau malah siap mencari korban, siapa esok hari yang akan "dimakan'?
Secara nalar, kata para pakar asupan gizi apalagi protein berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan otak manusia. Tapi adapula yang mengatakan, bahwa apa yang dimakan juga bisa berpengaruh terhadap perilaku pemakannya.
Mungkin itulah mengapa ada orang yang akhirnya ikut aliran vegetarian. Di samping kuatir efek negatif terhadap kesehatan tubuh, mereka juga kuatir perilaku yang dimakan akan berdampak terhadap pengkonsumsinya.
Apakah ribuan orang yang antri ini memang benar2 orang yang benar kurang gizi dan masuk golongan orang yang perlu mendapat santunan?
Bisa jadi ya bisa juga tidak.
Mirip ketika ada pembagian BLT. Kadang mereka2 yang mendapat BLT itu saja ada yang ambilnya bawa sepeda motor keluaran terbaru (miliknysendiri tentunya). Sementara mereka yang mau ambil kartu dan daftar agar bisa dapat BLT saja banyak harus dibantu orang. Akhirnya BLT ada yang kurang tepat sasaran.
Begitu juga waktu pembagian daging kurban. Kita bisa lihat (Meski sekilas di TV), mereka yang antri dan memenangkan daging, sebagian dari mereka, penampilan dan wajahnya terpancar wajah2 bukan orang miskin secara materi. Tapi mereka yang secara fisik sudah kelihatan miskin, tidak mampu berebut dan pulang dengan tangan hampa. Dan protein untuk orang miskin pun tak lagi singgah ke tubuh yang papa.
Sekali lagi, miskin tak lagi bisa dilihat dari penampakan luar saja.
Sekarang kemiskinan sudah menjadi trend kehidupan masyarakat modern. Menjadi miskin tatkala ada pembagian fasilitas. Menampakkan kemiskinan untuk meraih bantuan. Dan merasa kaya tatkala ada pesta.
Akibatnya jelas, negara kita semakin hari semakin banyak yang perlu mendapat bantuan. Para konglomeratpun tiba2 bisa jatuh miskin, dan mengharap bantuan likuiditas. Mendapat bantuan dana segar, meski setelah itu terbang menghindar.
Mereka2 yang saban hari kelebihan gizi dan sehat segar bugar tatkala mengajukan bantuan. Begitu diperiksa, tiba2 badannya sakit. Psikologisnya terguncang dan harus menjalani perawatan medis. Otaknya tak lagi sehat. Penyakit orang besar yang terlalu banyak protein. Terlalu pintar, kepintaran yang digunakan untuk membodohi orang. Akhirnya merasa dirinya bodoh. Biar lepas dari jerat.
Dan ini membuktikan, bahwa daging disatu sisi menunjukkan tingkat kecukupan gizi dan meningkatkan kecerdasaan. Di sisi lain, daging bisa berdampak buruk terhadap kesehatan dan moral pemakannya. Jika saja cara memperoleh, memakan dan memamfaatkan gizi dalam tubuhnya tidak benar.
Andai saja mereka2 yang dirinya sudah kaya dan cukup protein mau berbagi dan menyisihkan daging untuk yang lain, niscaya proteinnya akan lebih bermanfaat. Tidak hanya untuk kesejahteraan di dunia tapi juga di akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar