Sabtu, 04 Desember 2010

KORUPSI REFORMASI BIROKRASI DAN RENUMERASI GAJI

JADIKAN HUKUM SEBAGAI PANGLIMA

Di awal reformasi, Gus Dur pernah menyatakan. Bahwa untuk membasmi korupsi, gaji birokrat harus ditingkatkan. Disinyalir awal terjadinya korupsi karena tingkat kesejahteraan birokrat masih rendah. Gebrakan awal pun dilakukan. Kala itu dilakukan impassing gaji PNS. Lumayan untuk mengimbangi biaya hidup yang membumbung tinggi akibat krisis ekonomi. Untuk menegakkan hukum, Gus Dur bertindak tegas. Pejabat yang ditengarai gagal mengemban amanah, tidak segan-segan dicopot. Shock terapi ini membuat kalangan birokrat berhati-hati. Sayang pemerintahan Gus tidak berlangsung lama. Program kenaikan gaji berlipat tinggal wacana. Sementara gurita korupsi kembali beraksi. Penyakit lama kambuh.lagi.
Korupsi kian menjadi. Pergantian pemerintahan yang selalu mendengungkan penumpasan KKN tak kunjung kelar. Pola korupsi kian kreatif dengan berbagai modus operandinya. Praktek-praktek korupsi yang kasat mata, di depan hakim menjadi sulit dibuktikan. Para koruptor, penasehat hukum, penegak hukum adu pintar menjerat atau membebaskan pelaku. Masyarakat dibuat terbengong oleh kelihaian para koruptor menyiasati hukum di negeri ini. Hukum yang diharapkan menjadi panglima belum mampu menunjukkan ketegasannya. Palu hakim terasa berat diketukkan. Membuktikan para tersangka koruptor bersalah masih kalah cepat vonis terhadap para pencuri ayam, pengambil coklat atau buah asam. Neraca keadilan terlihat jomplang. Sulit bergerak hanya sekedar untuk berkata salah terhadap mereka yeng secara de facto salah. Neraca pengadilan perlu katalis.
Berbagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi di kalangan penegak hukum, birokrat dan pegawai negeri sipil terus dirintis. Salah satunya dengan memberikan renumerasi gaji. Perlakuan terbatas pemberian renumerasi ini setidaknya sebagai pilot projek. Apakah benar pemberian renumerasi efektif mencegak korupsi. Alih-alih mencegah, belum lama ujicoba, terkuaklah kasus Gayus. PNS direktorat pajak penerima renumerasi ini menggugurkan teori awal, bahwa renumerasi bisa mencegah korupsi. Pandangan sinis berdatangan. Termasuk upaya membatalkan renumerasi gaji. Toh sudah diberi renumerasi, korupsi masih terjadi. Kinerjanya pun belum menunjukkan peningkatan meyakinkan. Lantas bagaimana sebaiknya?
Perlu penyadaran sejak dini, agar generasi mendatang tidak korupsi. Pendidikan anti korupsi di sekolah diluncurkan. Kantin kejujuran sebagai pioner pendidikan anti korupsi diujicobakan. Meski sampai saat ini belum menampakkan hasil memuaskan. Masih ada lagi kemasan pendidikan karakter yang diintegrasikan ke dalam mata pelajaran. Belakangan terjalin kerjasama KPK dan Kemendiknas, melaunching pengintegrasikan pendidikan anti korupsi ke dalam kurikulum sekolah mulai tahun ajaran 2011/2012. Dan saat ini modul dan model pembelajarannya terus diujicobakan dan digodok.
Anehnya niatan penyadaran bahaya korupsi ini, medio Oktober lalu ditentang ICW. Seperti diberitakan Jawa Pos, ICW berpendapat bahwa pendidikan anti korupsi sebaiknya ditunda dulu. Alasanya, sekolah masih belum bersih dari praktek korupsi. Ini dibuktikan oleh guru dari beberapa sekolah di tanah air yang melapor ke ICW tentang kecurigaan terjadi tindak pidana korupsi di sekolah tempat guru itu mengajar. Keberanian guru seperti itulah yang diharapkan ICW untuk mencegah bahkan membongkar praktek korupsi. Bagaimana mungkin mendidik anti korupsi, jika penyelenggaranya saja masih belum bisa membebaskan diri dari korupsi. Apa yang dilontarkan ICW ini patut menjadi renungan.
Tetapi tanpa usaha tidak akan ada hasil. Berbagai pandangan sumir terhadap penciptaan aparatur negara yang bebas korupsi, mestinya menjadi pelecut dan kontrol. Bukan malah membabi buta dan ikut-ikutan korupsi. Karena yang terlibat korupsi banyak diputus ringan bahkan bebas. Keluar penjara makin kaya, mengacu hitungan matematika koruptor. Bahwa hasil korupsi lebih menguntungkan daripada gaji pengabdian PNS seumur hidup.
Sayangnya, semakin hari kita disuguhi berbagai paradoks. Berbagai program, ajakan, slogan untuk tidak korupsi dan hidup hemat justru kontradiksi dengan kenyataan. Kita bahkan semakin mengernyutkan dahi, tatkala banyak anggaran pembangunan dibungkus dengan berbagai program dan proyek yang rentan korupsi. Baik dilakukan di lingkungan pemerintahan atau parlemen. Dari model kunjungan kerja/studi banding misalnya, kita bisa menilai ini model korupsi santun. Menyakiti hati rakyat.
Para birokrat setidaknya bisa meniru budaya di negeri tetangga. Mereka yang korupsi tidak sedikit yang dihukum mati. Bandingkan di Indonesia. Bahkan ada ide menggelitik yang ditulis pada gagasan Jawa Pos 25 Oktober 2010. Untuk menumbuhkan malu, jika perlu melakukan kunjungan ke Jepang. Meniru budaya malu dan hara kiri, bila melakukan korupsi.
Sulitnya memutus mata rantai korupsi terletak pada budaya dan sistem pemerintahan kita. Budaya ketimuran yang dibawa dalam dunia kerja membuat penegakan hukum sulit dilakukan. Ini diperparah sistem promosi dan reward yang tidak seimbang. Sistem penjenjangan karier berdasarkan DUK dan kekerabatan membuat peningkatan profesionalisme kerja kurang. Sistem penggajian yang memberlakukan sama berdasar tabel, membuat PNS stagnan. Berprestasi atau tidak, gaji tetap sama. Parahnya, yang mangkir kerja malah dapat proyek tambahan. Tiadanya rewards dan punishment membuat kinerja adem ayem saja.
Untuk itu sistem kerja dan penggajian perlu dirombak. Tabel gaji yang berdasarkan pangkat dan masa kerja dijadikan standar. Kepada PNS berprestasi, mulai gol terbawah hingga top manajer diberikan rewards. Sedangkan yang melanggar aturan diberi hukuman. Salah satunya pemotongan gaji/tujnjangan. Agar ini membuat PNS bersaing secara sehat serta mengurangi kecemburuan sosial, rewards dan punishment berupa uang langsung dibayarkan lewat rekening di bank. Pemberian rewards di luar renumerasi ini pasti akan memacu pegawai untuk berkarya lebih baik lagi. Jika renumerasi gagal menciptakan birokrasi bersih, guru bisa terkena imbasnya. Renumerasi dicabut, tunjangan profesi pendidik dihentikan, andai para guru tidak menunjukkan peningkatan profesionalismenya. Maukah para guru kehilangan TPP? Silahkan ini menjadi renungan.

Tulisan ini dimuat majalah Media dinas pendidikan prop Jatim edisi Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar