Sabtu, 05 Desember 2009

UNAS BUKAN KUDA LUMPING

Seminggu terakhir masyarakat disuguhi polemik seputar ujian nasional. Putusan final Mahkamah Agung yang melarang pelaksanaan ujian nasional tanpa syarat serta upaya pemerintah yang tetap mempersiapka ujian nasional 2010 nampaknya akan mengetengahkan tontonan episode baru. Meski akhirnya muncul pernyataan dari MA lagi, bahwa MA tidak melarang ujian nasional.

Perbedaan pendapat antar dua lembaga negara dalam menyikapi satu kasus agaknya menjadi trend di negeri ini. Belum lama cicak vs buaya hilang dari peredaran pembicaraan publik, kini masyarakat kembali disuguhi sajian kebijakan yang dirasa tidak bijak lagi.

Kasus ujian nasional 2009 lalu seakan belum memberi pelajaran yang berharga bagi banyak pihak. Pelaksana unas rasanya juga belum memberikan evaluasi menyeluruh atas sebab akibat unas di tahun-tahun lalu. Apalagi begitu pak Nuh dilantik dan mencanangkan program 100 hari pertama. Rakyat dikejutkan dengan pemajuan jadwal unas dan penggunaan unas bagi seleksi masuk perguruan tinggi. Apakah pelaksanaan dan hasil unas benar-benar sudah dapat dipertanggung jawabkan. Tidak hanya di mata masyarakat, tetapi di depan hukum dan di hadapan Tuhan? Rasanya belum.
Pelaksanaan unas yang tergesa-gesa, apalagi Permen-nya (Permendiknas No 25 tahun 2009) diteken seminggu sebelum pembentukan Kabinet Bersatu jilid II, seakan memaksakan kehendak dan memuat kepentingan. Dimajukannya jadwal unas, dengan pertimbangan ada unas ulangan bagi yang tidak lulus, sebenarnya juga tidak sesuai dengan semangat meningkatkan mutu peserta didik. Belum lagi penggunaan nilai unas untuk masuk perguruan tinggi. Benarkah nilai unas diyakini menunjukkan kemampuan akademis peserta didik? Bukankah masuk perguruan tinggi sekarang biayanya tidak sedikit? Berragam jalur, dampak Undang-undang Badan Hukum Pendidikan? Masuk
perguruan tinggi jadi komoditi mahal.

Apalagi penyampaian dimajukannya jadwal unas dari biasanya disampaikan pada tengah semester gasal. Bukankah guru, sekolah dan dinas pendidikan sudah menyusun kalender akademik di awal tahun pelajaran? Buat apa lebih cepat jika tidak lebih baik? Apakah siswa kita seperti kuda lumping, yang siap dimainkan kapan saja sesuai iringan musik dan selera penabuhnya? Disuruh makan apa saja yang disodorkan ke hadapannya? Sudah pasti tidak. Anak-anak kita manusia juga. Perlu kesiapan materi pelajaran, mental dan spiritual mantap. Persiapan yang tidak serta merta dapat diajukan begitu saja. Bahwa setelah upaya yang ditempuh sudah maksimal, berhasil dan gagal adalah hal wajar. Asal pelaksanaannya sudah sesuai dengan aturan.

Perbedaan kondisi siswa, kemajuan daerah yang belum merata, kemampuan guru yang belum sesuai harapan. Apalagi kesiapan psikologis masyarakat yang belum siap menerima kegagalan, mestinya menjadi pertimbangan utama. Apakah unas yang dilaksanakan dari waktu ke waktu menunjukkan hasil signifikan untuk menggambarkan pemetaan mutu pendidikan.

Janji pemerintah untuk melaksanakan unas dengan ketat, malah menjadi pertanyaan. Apakah berani pelaksana unas bertindak demikian. Budaya masyarakat kita yang masih ewuh pakewuh untuk mengingatkan, menegur apalagi memberi sanksi akan menjadi bumerang dalam pelaksanaan unas. Semakin ketat unas dilaksanakan, semakin lihai peserta unas mensiasati. Klop sudah.

Bukan bermaksut menjustifikasi bahwa anak-anak kita banyak yang punya nurani jadi pencuri. Tetapi ketakutan yang berlebihan seringkali menimbulkan efek buruk terhadap perilaku seseorang. Kata bang Napi, kejahatan tidak hanya terjadi karena ada niat pelakunya, tetapi bisa terjadi karena ada kesempatan dan keterpaksaan.
Pemaksaan unas termasuk memajukan jadwal janganlah dilaksanakan tanpa apersepsi. Perlu pemanasan untuk mencapai kepuasan. Kepuasaan yang ditunjukkan dengan angka-angka. Kepuasan yang tidak boleh dicapai dengan keterpaksaan. Kepuasan dunia pendidikan diperoleh dari suatu proses yang benar. Taat asas dan berkeadilan. Pemaksaan ujian nasional yang hanya sekedar memperoleh angka-angka bisa menggoda banyak pihak untuk meraihnya. Merengkuh kepuasan dengan cara tidak benar.

Aksi tipu-tipu dan perbuatan tidak jujur bisa mewabah. Bisa vulgar, bisa juga sistemik. Ibarat krisis finansial global, jika unas gagal, bisa jadi dunia pendidikan menjadi bulan-bulanan gagalnya pembangunan bangsa. Dan nantinya timbul cemoohan. Menggelar even unas saja gagal, bagaimana mengelola bangsa yang lebih besar.
Mayarakat tidak ingin energi bangsa ini habis untuk berpolemik tanpa ujung. Oke-lah, pemerintah perlu pemetaan mutu pendidikan. Tapi ujian nasional jangan lagi menentukan syarat-syarat nilai tertentu untuk melihat kemampuan anak didik. Keberagaman intelektual adalah diorama kehidupan. Satu sisi unggul di sisi lain lemah. Perbedaan yang akan membentuk simbiosis di suatu waktu. Bukankah banyak orang sukses berasal dari orang yang intelektualnya biasa bahkan rendah?

Ujian nasional juga jangan berkamuflase nama seperti bank Century menjadi bank Mutiara. Wujudnya berubah tapi masih menimbulkan masalah. Daripada berpolemik lebih baik mencari solusi di sisa waktu yang kian habis. Saatnya sekolah menerapkan desentralisasi pendidikan dengan membuat kebijakan yang cantik dan elegan.
Sekolah dan guru bisa jadi hakim bagi anak didiknya. Dengan profesionalismenya, guru juga harus mampu menunjukkan kepercayaan yang dimanahkan. Membuat alat evaluasi yang baik untuk mengukur kemampuan anak didik di satu sekolah atau wilayah. Sehingga hasilnya dapat digunakan untuk mengukur kualitas kompetensi anak didik secara nasional. Dengan memvalidasi alat ukur evaluasinya, perbedaan angka-angka diolah sebagai alat standarisasi dan pemetaan mutu pendidikan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar